YaDita

"Serangan terbaik berasal dari sabar, dan pertahanan terbaik adalah rasa syukur"
kata-kata itu datang dari bibir mendiang nenek, sebelum ia meninggal beberapa waktu yang lalu.

Aku adalah anak yang saat ini sebatang kara ditanah kelahiran moyangku, tanpa ada seseorangpun sanak saudara, ayah maupun bunda. Saat ini tak tau kemana arah menapak, kaki ringan melanglang buana tanpa tau arah rumah, tak ada kehangatan yang bisa aku dapatkan dari sinaran kasih keluarga. Hidup dalam rasa sunyi ini membuatku bingung apakah aku harus bertahan atau menyerah.
Terkadang aku bersyukur pada Ilahi yang membawaku kedunia, namun tatkala dalam hati kecilku terkadang muncul sebuah doa yang membuatku ingin cepat berkumpul dengan ayah dan bunda. Bila seseorang berdoa pada tuhan agar semoga diberikan umur yang panjang namun aku berbeda. Dalam isak dan iba aku meminta "Oh tuhan tolong cabut nyawaku!"

Dalam isak dan pedih aku menjalani hari untuk saat ini tanpa mimpi yang pasti, karena bagaimanapun aku bermimpi, aku akan disadarkan bahwa pendidikan pun kini harus terhenti. Sebaik apapun aku menjalani hidup, hitam dan kelabu terfluktuasi didalam setiap sendi dan aliran darahku. Kenyataan itu membuat senyum pada wajahku (pun) tak mampu memancarkan sinarnya.

"Priyadi! kamu Priyadi kan? puji tuhan aku menemukanmu." Ujar pria dewasa yang aku temui saat ini. Aku tak merasa pernah bertemu dengannya. bahkan semasa hidup nenek dulu, beliau tidak pernah menceritakan tentang seseorang dengan ciri seperti pria yang saat ini aku temui. Aku yang tertegun disadarkan dengan kondisi canggung . Namun belum sempat aku membalas pernyataannya di awal tadi "Nak, Saya adalah Ayah mu nak" tambahnya. Bagaimana bisa??