"Permisi, Mba, tahu jalan ke kafenya, enggak?" Laki-laki itu bertanya kepada Danah. Ia menyeringai. Jalan ke kafe katanya? Danah mengangkat satu alisnya. "Lah, ke situ, kan, Mas?" Danah bertanya balik dan menunjuk kafe yang tidak lebih dari empat meter di hadapan mereka. Laki-laki di hadapan Danah mengangguk. "Bener, tuh, Mba," katanya sembari maju selangkah lebih dekat dengan Danah. Gadis itu reflek mundur selangkah. "Kalo jalan ke hati Mba, tahu, enggak?" Kali ini, laki-laki itu tersenyum lebih lebar. Hah? Danah sontak langsung merasa jijik dengan laki-laki di hadapannya ini. Danah mulai menggerakan bola matanya dari atas sampai ke bawah untuk melihat penampilan laki-laki di hadapannya ini. Rambut hitam pendek, sepasang mata hitam yang tajam, hidung mancung, kulit kuning langsat, anting hitam yang tertaut di kedua telinganya, kaus hitam, kalung besi, celana jeans, dan sepatu tali dengan merek yang bisa dibilang cukup mahal. Idih, amit-amit. Kalimat itu hampir terucap dari bibir Danah.
22 parts