"Aku gamau jatuh cinta lagi."
Dari ujung sambungan telepon, saya terbata-bata berucap demikian di antara sedu seda malam itu. Pukul 2 dini hari dari bilik kamar indekos dengan isak tangis yang terus mengalir seperti keran rusak.
Bibir saya bergetar hebat. Sementara itu, dada terasa dikerubungi sesak yang tak kunjung redam. Seumur hidup, saya tak pernah mengira bahwa perkara mencintai orang yang salah bisa jadi semenyakitkan ini. Setelah itu, saya berusaha membunuh rasa. Mencabik-cabiknya hingga tak bersisa.
Sampai di suatu waktu, saya menyadari bahwa Tuhan menghadirkan kejutan baru dalam 6 bulan terakhir masa perkuliahan. Malam itu, untuk kedua kalinya saya membiarkan hati saya berdebar lebih kencang daripada biasanya. Hanya karena sebuah ajakan sederhana dari dia yang telah lama saya kenal.
"Kak, mau pulang bareng?"
Entah sejak kapan saya berharap perjalanan dari kampus menuju indekos bisa menjadi lebih jauh agar saya bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk menatap punggung kokoh. Sembari sesekali melirik ke spion motor.
Dalam hening malam, sebuah harap mengudara. "Bahagia terus ya, kamu. Selalu selamanya"
Elliot Jensen and Elliot Fintry have a lot in common. They share the same name, the same house, the same school, oh and they hate each other but, as they will quickly learn, there is a fine line between love and hate.