"Vean? Kamu Vean kan?" Seseorang memegang lenganku dan menariknya pelan "iya, siapa ya?" Ku balikan tubuhku untuk melihat siapa orang yang mengenaliku di daerah yang terpencil dan sangat jauh ini. Seorang wanita bertumbuh tinggi, langsing, berambut panjang, berkulit putih dan bermata sipit khas suku chinese tersenyum cantik kearahku, ekspresi senangnya tidak mampu mengalahkan tatapan teduh dari wajahnya, aku sepertinya mengenalinya tapi entahlah di mana. Belum sempat dia menjawabku, terdengar panggilan dari pembawa acara di lapangan balai desa. "selamat datang untuk dokter Frian, silahkan maju ke depan dok, berikan tepuk tangan untuk dokter Frian yang akan memberikan penyuluhan hari ini" "nanti jangan langsung pulang, tunggu aku selesai ya" Wanita itu berbicara lembut kearahku, aku hanya mengangguk saja. Aku masih melamun mengingat siapa Frian. Tiba-tiba otakku menemukan nama itu, Frian dia satu angkatan denganku pada saat SMA, si jenius yang terlalu sempurna cantik, baik, sederhana, anak orang kaya, dikagumi satu sekolah, incaran semua teman laki-lakiku tidak ada kurangnya, Terlalu sempurna bahkan. Tapi entah kenapa aku selalu merasa tidak enak setiap berpapasan dengannya, mungkin aku merasa rendah diri dan terintimidasi dengan kehadirannya, kami tidak pernah bertegur sapa aku bahkan merasa heran dia masih mengenaliku.