Hidup Serena hancur dalam sekejap.
Penthouse yang dulu menjadi bukti cinta Nathan kini hanya menyisakan kehampaan. Pria itu telah pergi lenyap dalam ledakan yang merenggut segalanya. Dunia Serena terasa hampa, seolah kehilangan warna dan makna. Tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi suara yang selalu menenangkannya.
Tanpa arah dan tujuan, Serena mencoba mencari cara untuk mengisi kekosongannya. Ia menghabiskan waktu menebang kayu di hutan di belakang penthouse, tempat yang dulu menjadi milik Nathan. Aktivitas sederhana itu memberinya sedikit pelarian, sedikit rasa hidup di tengah kesedihannya.
Namun, di antara desir angin dan suara kapak yang menghantam batang kayu, Serena melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
Seorang pria berdiri di sana tinggi menjulang (205 cm), dengan rambut seputih salju dan mata merah menyala seperti bara. Pakaian hitamnya berlumuran darah, tangannya menggenggam sesuatu yang meneteskan cairan merah gelap. Di kakinya, tubuh tak bernyawa tergeletak tanpa gerakan.
Laki-laki itu tidak tampak terkejut. Sebaliknya, ia menoleh dengan perlahan, lalu menatap Serena... dan tersenyum.
"Menarik," katanya, suaranya dalam dan tenang.
Nama pria itu adalah Alex.
Tatapan matanya mengunci Serena di tempat. Ketakutan merayapi tubuhnya, tapi ada sesuatu yang lain di sana sebuah rasa yang tak bisa ia jelaskan. Siapa Alex? Mengapa ia ada di hutan ini? Dan lebih dari itu... apakah Serena baru saja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat?
Di antara duka yang belum usai dan bayang-bayang bahaya yang mendekat, Serena harus memilih: melangkah mundur atau justru terjerat lebih dalam dalam misteri pria berbahaya itu.
Sebuah kisah tentang kehilangan, rahasia, dan pertemuan yang mengubah segalanya dimulai sekali lagi.
Sosok yang tampaknya lahir ke dunia hanya untuk menghancurkan apa pun yang ia sentuh. Xakia tidak pernah bisa melupakan bagaimana tatapan mata itu berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan pada malam jembatan. Bagaimana ia hampir kehilangan segalanya. Dan bagaimana semuanya berakhir dengan satu pukulan keras satu hantaman yang membungkam monster itu.
Gala, pria yang muncul entah dari mana, adalah sosok yang penuh misteri. Setelah malam itu, Xakia mulai melihatnya lebih sering. Selalu di tempat-tempat yang tidak seharusnya ia ada. Selalu dalam situasi yang tidak bisa dijelaskan. Seolah-olah ia adalah bayangan yang mengikuti Xakia, seseorang yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya.
Sekarang, di bawah hujan yang mengguyur tanpa henti, mereka kembali bertemu.
Xakia menatap Gala dengan mata yang penuh pertanyaan. "Kenapa kau selalu muncul? Apa yang kau inginkan dariku?"
Gala menghela napas, menyapu rambut basahnya ke belakang. "Aku tidak menginginkan apa pun." Suaranya tenang, tapi ada sesuatu di baliknya sesuatu yang tidak Xakia mengerti.
"Lalu kenapa kau memukulnya?" Xakia menatap tubuh yang tak bergerak di tanah, darahnya bercampur air hujan, mengalir menuju lubang drainase di pinggir jalan.
Gala tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap tubuh itu sejenak, lalu berbalik menghadap Xakia. "Karena jika aku tidak melakukannya, kau tidak akan pernah bisa lari."
Ketegangan di antara mereka begitu pekat, seolah udara sendiri menahan napas.
Lalu, sirene polisi mulai terdengar di kejauhan. Lampu merah dan biru berpendar di balik rintik hujan.
Gala menatap Xakia dalam-dalam.
"Kita harus pergi. Sekarang."
Dan tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan Xakia, membawa gadis itu pergi dari malam yang akan mengubah hidup mereka selamanya.