Kala itu, aku menatap langit yang sebentar lagi akan menjatuhkan isak tangisnya. Jangan nangis dong langit! nanti aku ga bisa pulang, gumamku. Sore itu aku sendirian di depan gerbang sekolah, ku goyangkan kaki-kaki yang beralaskan sepatu pantofel itu. Sesaat, aku mendongakan kepalaku. Pada saat itu, semestaku terpaku pada dua mata yang ingin aku lihat selalu. Senyumnya yang indah, matanya yang tajam, dan kulitnya yang membuatku terpaku pada indahnya sawo matang. Ia menatapku, sungguh indah sekali. Sejak itu, dunia kami berjalan bersama berdampingan. Namun, tiba-tiba semua terlihat berantakan ketika ada seseorang yang memintaku untuk menjadi 'calon menantu', dan ia yang memilih berjalan sendiri karena alasan ekonomi. Akankah aku bisa membujuknya?akankah memang kita ditakdirkan berjuang untuk bersama?akankah hubungan kita pantas untuk masih kita genggam bersama? ~laafi, 8 Mei 2024All Rights Reserved
1 part