KAMI MATI DI NEGARA YANG (katanya) MERDEKA
7 parts Ongoing Dunia menyambut kelahirannya dengan sunyi yang getir. Tak ada peluk hangat atau mata penuh harap. Ia terlahir dari rahim yang tak menginginkannya, lalu dibuang bagai barang cacat yang tak layak disimpan. Panti asuhan menjadi satu-satunya rumah yang ia kenal, meski rumah itu pun lebih menyerupai kotak usang yang dijejali anak-anak malang tanpa keluarga.
Bahkan tempat usang itu pun tak mampu menjadi pelindung untuk selamanya. Ketika warisan menjadi rebutan, panti itu dijual. Mereka diusir, diinjak harga dirinya, dilempar ke jalanan tanpa belas kasih, seakan-akan mereka tak lebih dari sekumpulan sampah hidup yang mengotori peradaban.
Althar Ranu Pranaja. Bocah ringkih berusia tiga belas tahun yang tak tahu siapa yang memberinya nama, atau mengapa ia harus hidup. Setiap hari, dunia menamparnya dengan kenyataan bahwa keadilan bukan untuk mereka yang dilahirkan tanpa privilese. Ia bersama teman-temannya mengembara di trotoar yang panas, tidur beralaskan kardus, makan dari sisa-sisa yang tak diinginkan orang lain. Kadang seporsi nasi dibagi-bagi, kadang juga hanya air keruh yang jadi pelipur lapar.
Punggungnya remuk di bawah beban barang dagangan pasar, kulit tangannya mengelupas karena sabun keras tempat cuci kendaraan, tubuhnya ditendang preman karena tak mampu setor uang haram. Namun ia tak pernah mengaduh. Ia terlalu terbiasa dipaksa diam oleh nasib.
Ranu hanya punya satu hal yang masih utuh: mimpi.
Ia ingin jadi nahkoda. Menaklukkan lautan, meninggalkan daratan busuk yang selama ini hanya memberinya luka. Ia ingin hidup, persetan dengan kehidupan yang selalu punya cara sendiri untuk mematahkan keberaniannya yang terlalu tinggi. Polisi memburunya hanya karena ia anak jalanan. Bos pasar memperbudaknya tanpa belas kasihan. Dan saat harapan nyaris padam, masa lalunya kembali datang-bukan untuk memeluk, tapi untuk menghancurkan sisa-sisa keteguhan yang nyaris habis.