22 parts Ongoing Di sebuah dusun terpencil yang tersembunyi di jantung hutan tropis, berdiri sebuah sekolah reyot-Sekolah Rimba Merun. Hanya ada tiga guru yang mengajar di sana, dipimpin oleh Bu Mar, seorang pendidik yang tak lagi muda dari kota yang memilih hidup jauh dari peradaban demi satu cita-cita: menyalakan api pengetahuan di tempat yang nyaris padam harapannya. Ia datang sejauh 50 KM setiap hari.
Murid-muridnya hanyalah segelintir anak dari keluarga miskin, yang bahkan tak semua bisa membawa buku. Di dusun itu, kebanyakan orang dewasa buta huruf, hidup dari hasil hutan dan kebun seadanya. Sekolah dianggap sia-sia. Namun para guru tak menyerah-mereka bukan hanya mengajar, tetapi juga meyakinkan masyarakat bahwa pendidikan bisa mengubah nasib.
Lalu datang ancaman. Sebuah perusahaan sawit raksasa mengklaim bahwa tanah sekolah dan hutan di sekitarnya, termasuk Rimba Merun, masuk dalam wilayah konsesi mereka. Surat-surat legal ditebar. Mereka berjanji akan menggelontarkan lautan pekerjaan dengan gaji besar. Namun, yang mereka bawa hanyalah ekskavator dan penggusuran.
Bu Mar dan guru lainnya tidak tinggal diam. Bersama murid dan segelintir warga yang mulai sadar, mereka membangun perlawanan. Namun perjuangan tidak mudah. Di tengah tekanan ekonomi, masyarakat terpecah: sebagian memilih tunduk demi sesuap nasi, sebagian lain memilih bertahan meski terancam kehilangan segalanya.
Ini adalah kisah tentang bagaimana sepetak sekolah bisa menjadi benteng terakhir sebuah peradaban. Di mana papan tulis menjadi medan tempur, dan kapur tulis bisa lebih tajam dari peluru.