Sudah berapa bulan dia berdiam diri di kamar? Satu bulan? Tiga bulan? Lima bulan? Tidak, sepertinya sudah berbulan-bulan-menuju bertahun-tahun. Selama itu pula, yang bisa dia lakukan hanyalah duduk termenung memandangi langit melalui jendela di kamarnya sembari bertanya-tanya, kapan sekiranya dia bisa kembali beraktivitas seperti dulu? Sekarang, dia tidak bisa kemana-mana, bahkan sekadar makan pun dia harus menunggu orang lain untuk membantunya. Menantikan. Bersabar. Menghitung hari. Begitulah keseharian Senandung Asa Seruni, setelah kecelakaan yang menimpanya, kehidupan Seruni berubah. Dia yang biasanya selalu mandiri dan ceria, menjadi murung. Tidak ada yang bisa Seruni lakukan seorang diri saat ini, semua yang dia lakukan harus dibantu orang lain. Rasa ketidakberdayaan. Ketidaknyamanan. Ketidakadilan. Menghantuinya terus menerus setiap malam, membuat Seruni tidak bisa tidur dengan tenang. Meskipun ada Aksa, tetap saja, Seruni telah kehilangan arah dan tujuan hidupnya. Bagaimana dia harus melanjutkan semua ini? Ketika mimpi Seruni telah dipatahkan dan dihancurkan. Bukan hanya oleh satu orang, melainkan semua yang dia anggap selama ini sebagai satu-satunya tempat Seruni berlindung, lebih tepatnya dia berharap jika suatu hari rumah akan terasa rumah untuknya; keluarga. Tidak ada keinginan apapun yang dilayangkan Seruni saat ini, dia hanya berharap bahwa dunia sedikit baik pada Seruni di sela-sela rasa sakit dan kekecewaan, apakah Seruni akan berhasil melalui semuanya?