Riwangga Angger Pati tidak pernah membayangkan Film Horor debutnya, sebagai seorang Sutradara, justru menariknya masuk kedalam teror sesungguhnya. Lantaran memilih sebuah scenario film milik Reswani Anindyaswari.
Penulis scenario tersebut, bahkan menunjuk langsung sebuah bangunan tua, berarsitektur Belanda kejawen, sebagai syarat utama kontrak. Masalahnya sang pemilik rumah pun, menambahkan syarat kontrak tidak masuk akal dan pada akhirnya disetujui Riwangga.
"Jangan pernah menggunakan ruang bawah tanah, tepat tengah malam"
Dan..., ketika syuting dimulai, salah satu aktor bahkan kru filmnya melanggar kesepakatan! Tahukah kamu, konsekuensi apa yang harus mereka hadapi?
Klik 'baca' jika kamu pun, ingin rasakan sensasinya...
Tidak ada yang benar-benar hilang di hutan itu.
Hanya tertelan. Dan menunggu ditemukan lagi dalam bentuk yang tak sama.
Mereka bilang, setiap beberapa dekade, hutan membuka matanya. Ia lapar, menuntut upeti. Tapi bukan daging yang ia inginkan.
Bukan tulang.
Yang ia inginkan adalah sesuatu yang lebih lembut. Lebih hangat. Sesuatu yang masih bisa menjerit.
Anak-anak.
Gadis-gadis kecil.
Anak laki-laki yang belum sempat bermimpi.
Dan selalu ada seorang ibu.
Seorang yang cukup hancur untuk menyerah.
Cukup lelah untuk percaya bahwa mengorbankan satu bisa menyelamatkan yang lain.
Cukup bodoh... atau cukup tahu, bahwa menolak berarti kehilangan semuanya.
Mereka menyebutnya dongeng.
Legenda tua untuk menakuti anak-anak.
Tapi mereka lupa sesuatu yang penting.
Dongeng tidak pernah lahir dari ketiadaan.
Dongeng... adalah jejak darah yang disamarkan dengan puisi.
Dan malam ini, seekor kambing hitam berjalan melewati pintu yang terbuka.
Ia menoleh ke si ibu, dan berbisik:
"Sudah waktunya."