Senja merambat perlahan di atas perbukitan, menyepuh sawah dengan semburat jingga. Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Andi Wijaya duduk termenung di beranda, matanya menerawang jauh ke cakrawala. Tangannya yang kasar menggenggam secangkir kopi, uapnya mengepul lembut menghangatkan udara dingin pegunungan.
Andi, mantan pembunuh bayaran yang kini hidup tenang sebagai petani, tak pernah menyangka kedamaian yang ia bangun selama bertahun-tahun akan terusik. Istrinya, Sari, menghampiri dan menyentuh bahunya lembut.
"Apa yang kau pikirkan, Mas?" tanya Sari dengan suara lembut.
Andi menghela napas panjang. "Reyna. Sudah seminggu dia pergi berlibur ke Bali. Aku punya firasat buruk."
Tepat saat itu, ponsel Andi berdering nyaring. Nomor tak dikenal. Dengan jantung berdegup kencang, ia mengangkatnya.
"Halo, Pak Andi?" suara di seberang terdengar panik. "Ini Rani, teman Reyna. Kami... kami dalam masalah. Reyna diculik!"
Dunia Andi seketika runtuh. Naluri pembunuhnya yang telah lama terkubur kini bangkit, menggeliat bagai ular berbisa siap menerkam mangsa.
Sementara itu, di sebuah apartemen mewah di Jakarta, tiga pria duduk mengelilingi meja, wajah mereka tegang. Satrio, si penipu ulung, memainkan kartu identitas palsu di tangannya. Bimo, hacker jenius, jemarinya menari lincah di atas keyboard. Joko, petarung tangguh, bersandar di dinding, matanya awas mengawasi pintu.
"Target kali ini bukan main-main," ujar Satrio, suaranya rendah dan serius. "Konglomerat Hendrik Tanaka. Pemilik imperium bisnis terbesar se-Asia Tenggara, sekaligus dalang dari sindikat perdagangan manusia."
Bimo mengangguk, matanya tak lepas dari layar komputer. "Aku sudah meretas sistem keamanannya. Kita punya akses ke semua data pribadinya."
"Bagus," Satrio tersenyum tipis. "Joko, kau siap?"
Joko mengepalkan tinjunya. "Selalu siap. Kali ini untuk Kinar."
Mereka bertiga, yang dikenal sebagai kelompok Peneror, telah lama menantikan momen ini.All Rights Reserved