Sebuah kamera. Apa yang bisa dihasilkan oleh alat ini? Kenangan? Trofi? Uang? Atau mungkin, hanya selembar kertas? Semua itu, menurut pemikiran tokoh utama kita. Dia adalah Ketua Klub Fotografi, sebuah klub yang anggotanya hanya dia sendiri. Meski hanya ada satu anggota, pembentukan klub ini tak lepas dari usahanya. Memenangkan tiga medali emas dalam kompetisi fotografi cukup bagi sekolah untuk memberinya izin mendirikan klub tersebut. Tokoh utama kita sangat menyukai fotografi, tampaknya pepatah "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" berlaku di sini karena ayahnya adalah seorang fotografer profesional.
Suatu malam, tokoh utama kita sedang berburu foto jalanan yang bagus. Dia menemukan sebuah spot menarik tak jauh dari sebuah jembatan di prefekturnya, dekat dengan tepian sungai. Bulan bersinar terang di balik jembatan, menyoroti sosok seseorang yang berdiri di luar pagar beton jembatan. Angin meniup rambut panjangnya. Terpesona oleh momen tersebut, tokoh utama kita segera mengabadikannya dengan kamera. Kilatan cahaya muncul dari kamera. Siluet itu menyadari cahaya dan turun ke tepian sungai. Ternyata, itu adalah seorang gadis. Dengan tatapan penasaran, dia bertanya, "Apakah itu foto bunuh diri yang bagus?"
Mulanya, maksud Miura Nara menerima pernyataan cinta berondong tengil yang terus mengganggunya, adalah untuk membuatnya kapok. Dia sudah menyiapkan 1001 tingkah menyebalkan yang akan ditunjukkan selama masa uji coba berpacaran. Dengan begitu, berondong menyebalkan berstatus pacar magang itu memilih pergi meninggalkannya.
Sialnya, ini tidak semudah yang Miura kira. Terlebih saat dia harus tinggal satu atap bersama pacar berondongnya dengan hormon belum stabil alias sangean.
Miura Nara dalam masalah baru yang lebih besar dari sekadar Askara Tarachandra Manggala.