Aksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, tetapi juga dengan kenyataan bahwa ia gagal mendapatkan beasiswa yang diidamkan. Hari-harinya mulai terasa monoton, hingga Aksara menemukan tempat pelarian di sebuah kedai kopi kecil. Di sana, ia sering kali duduk sendiri, menulis catatan pribadi sembari mengamati dunia di sekitarnya. Salah satu sosok yang menarik perhatiannya adalah Rafif, seorang pelanggan tetap dengan gaya bicara tenang dan pandangan hidup yang penuh misteri. Percakapan mereka, meskipun sederhana, selalu membekas dalam ingatan Aksara. Tanpa disadari, pertemuan-pertemuan itu membawa Aksara pada perjalanan batin yang lebih dalam. Di antara cangkir kopi dan obrolan singkat, Aksara menyadari bahwa pencarian jati diri tidak selalu datang dari kesuksesan besar, tetapi dari momen-momen kecil yang penuh makna.