"Tragedi adalah Komedi."
Kalimat petuah itu, Mars masih ingat betul detailnya meski sewindu telah berlalu. Dimulai dari siapa yang memberi petuah, wajah orang itu, ciri fisik yang paling mencolok, hingga detik pertemuan terakhir mereka. Entah di mana dan kapan awal mula mereka bertemu, yang pasti 8 tahun lalu bukanlah yang pertama. Mars yakin, karena wajah itu tak asing baginya.
'Ada sebab mengapa kita dipertemukan. Entah untuk pengalaman, atau pembelajaran.' Batin Mars, lelaki itu melangkahkan kakinya dengan mantap menyusuri koridor bandara internasional Soekarno-Hatta. Pandangannya mengedar, menelisik setiap orang yang berlalu-lalang di sekitarnya guna mencari beberapa wajah yang familiar di ingatannya.
"ABANG!"
Mars lantas menoleh ke asal suara, menatap seseorang yang kini tengah melambai heboh dari jarak kurang lebih 77 meter dari tempatnya berada. Senyumannya merekah kala kedua matanya menangkap 5 sosok lain yang ikut melambai, segera ia berlari seraya menyeret kopernya dan memeluk 6 adiknya dengan erat. Lama tak jumpa, jujur ia menolak fakta jika adik-adiknya kini telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tengah memasuki usia quarter life crisis. Satu sisi tak rela, sisi lain merasa bangga. Kerja kerasnya selama ini telah membuahkan hasil, tak sia-sia ia merantau banting tulang di kota orang selama bertahun-tahun. Bahkan rekor Bang Toyib saja bisa ia kalahkan, saking jarangnya ia pulang ke rumah.
"Abang pulang." Ucap Mars dengan tangis harunya.
Hesa kira, kepergian Mama adalah satu-satunya kehilangan yang akan ia alami seumur hidupnya. Namun, agaknya ia keliru-ternyata setelah kepergian Mama, ia terus menjumpai kehilangan-kehilangan berikutnya.
wordizards, 2021.