Story cover for Caught in Feelings by purnamahilang4
Caught in Feelings
  • WpView
    Reads 20
  • WpVote
    Votes 8
  • WpPart
    Parts 2
  • WpView
    Reads 20
  • WpVote
    Votes 8
  • WpPart
    Parts 2
Ongoing, First published Oct 02, 2024
Aku masih dengan mata kosong menatapnya tiba-tiba tangannya melambai indah di depan mataku, sehingga aku tersadar dari lamunanku seketika aku gugup, bingung tak tahu harus bagaimana wanita itu seketika seperti menghipnotis pikiranku.
Tiga  kata keluar dari mulutku " iyaa, kenapa kak?" Tanyaku padanya
" ini loh kak ada kiriman dari  ombak literasi saya tarok dimana ?" ucap wanita itu
"Ini koleksian buku terbaru?"     tanyaku padanya 
"iya ini koleksi terbaru kami yang dipesan oleh  Elysium Buku" jawab wanita itu  
namaku "joshua mahendra" sudah lumayan lama aku menjadi karyawan tetap di elysium buku sebuah rumah baca yang lumayan ramai pengujung karena merupakan salah satu tempat baca terbesar dikota kecil ini.
All Rights Reserved
Sign up to add Caught in Feelings to your library and receive updates
or
#47terbaik
Content Guidelines
You may also like
Jejak wasiat kakakku by grace348469
22 parts Complete Mature
Namaku Alya. Dan aku tidak pernah menyangka bahwa langkah kakiku suatu hari akan menggantikan jejak perempuan paling kuat yang pernah aku kenal: kakakku, Alisa. Sudah hampir setahun aku tinggal di rumah besar bercat abu muda itu, rumah yang dulunya hanya aku singgahi saat libur semester atau ketika merindukan masakan kakakku. Tapi sejak Alisa divonis kanker paru-paru stadium lanjut, rumah itu menjadi dunia baruku. Aku memilih cuti kuliah, meninggalkan kosan kecilku di Jogja, dan kembali ke kota ini-demi merawatnya. Aku masih ingat hari ketika pertama kali datang kembali ke rumah itu. Anak-anak Alisa, Rani dan Dafa, langsung berlari memelukku. Rani sudah kelas dua SD, dan Dafa masih TK. Mereka belum tahu betapa besar badai yang sedang menunggu kami semua. Dan di tengah rumah itu, ada sosok pria yang paling jarang bicara: Rayhan. Suami Alisa. Kakak iparku. Ia selalu tenang. Terlalu tenang, bahkan saat Alisa harus masuk rumah sakit untuk ketiga kalinya bulan itu. Ekspresinya nyaris tidak berubah-datar, kaku, dan kadang membuatku bertanya-tanya apakah ia benar-benar mencintai kakakku atau hanya hidup berdampingan karena kebiasaan. "Mas Rayhan, teh hangatnya," kataku malam itu, sambil meletakkan cangkir di meja. Ia hanya menoleh sekilas. "Makasih." Lalu kembali tenggelam di balik layar laptopnya. Begitulah Rayhan. Ia tidak pernah kasar, tidak pernah marah, tidak pernah meninggikan suara. Tapi juga tidak pernah benar-benar hadir. Ia adalah tipe laki-laki yang, entah kenapa, membuat dada terasa sesak hanya karena terlalu hening. Sementara itu, kondisi Alisa kian memburuk. Berat badannya turun drastis, rambutnya mulai rontok karena kemoterapi, dan batuknya sering berdarah. Tapi ia tetap tersenyum. Tetap berusaha mencatat tugas-tugas sekolah Rani, tetap memeluk Dafa sebelum tidur. Suatu malam, saat aku menemaninya di kamar, Alisa mem
You may also like
Slide 1 of 9
Jejak wasiat kakakku cover
Untuk Lorraine dari Jihad cover
Best Of Name (END) cover
My Sweet Lecturer [Tamat] cover
MAS DOSEN ITU SUAMIKU  cover
UNDER YOUR SHADOW cover
JATUH CINTA SETELAH MENIKAH cover
Bandung, Aku, dan Cinta yang Tak Tuntas cover
Lingkaran Zana cover

Jejak wasiat kakakku

22 parts Complete Mature

Namaku Alya. Dan aku tidak pernah menyangka bahwa langkah kakiku suatu hari akan menggantikan jejak perempuan paling kuat yang pernah aku kenal: kakakku, Alisa. Sudah hampir setahun aku tinggal di rumah besar bercat abu muda itu, rumah yang dulunya hanya aku singgahi saat libur semester atau ketika merindukan masakan kakakku. Tapi sejak Alisa divonis kanker paru-paru stadium lanjut, rumah itu menjadi dunia baruku. Aku memilih cuti kuliah, meninggalkan kosan kecilku di Jogja, dan kembali ke kota ini-demi merawatnya. Aku masih ingat hari ketika pertama kali datang kembali ke rumah itu. Anak-anak Alisa, Rani dan Dafa, langsung berlari memelukku. Rani sudah kelas dua SD, dan Dafa masih TK. Mereka belum tahu betapa besar badai yang sedang menunggu kami semua. Dan di tengah rumah itu, ada sosok pria yang paling jarang bicara: Rayhan. Suami Alisa. Kakak iparku. Ia selalu tenang. Terlalu tenang, bahkan saat Alisa harus masuk rumah sakit untuk ketiga kalinya bulan itu. Ekspresinya nyaris tidak berubah-datar, kaku, dan kadang membuatku bertanya-tanya apakah ia benar-benar mencintai kakakku atau hanya hidup berdampingan karena kebiasaan. "Mas Rayhan, teh hangatnya," kataku malam itu, sambil meletakkan cangkir di meja. Ia hanya menoleh sekilas. "Makasih." Lalu kembali tenggelam di balik layar laptopnya. Begitulah Rayhan. Ia tidak pernah kasar, tidak pernah marah, tidak pernah meninggikan suara. Tapi juga tidak pernah benar-benar hadir. Ia adalah tipe laki-laki yang, entah kenapa, membuat dada terasa sesak hanya karena terlalu hening. Sementara itu, kondisi Alisa kian memburuk. Berat badannya turun drastis, rambutnya mulai rontok karena kemoterapi, dan batuknya sering berdarah. Tapi ia tetap tersenyum. Tetap berusaha mencatat tugas-tugas sekolah Rani, tetap memeluk Dafa sebelum tidur. Suatu malam, saat aku menemaninya di kamar, Alisa mem