Gemma dan Hanna dipertemukan bukan oleh cinta, melainkan oleh keinginan keluarga yang menganggap mereka sebagai pasangan ideal. Bagi Gemma, perjodohan ini adalah bentuk bakti kepada keluarganya, meski ia tak pernah menginginkannya. Namun, bagi Hanna, pernikahan ini adalah sebuah kutukan-sebuah belenggu yang memaksanya kembali ke dalam lingkaran keluarga yang tak pernah menghargai kebahagiaannya.
Hanna telah belajar satu hal sepanjang hidupnya: kebahagiaan adalah milik pribadi, bukan sesuatu yang bisa diberikan orang lain. Dihantui masa lalu yang penuh kritik dan tekanan dari keluarganya, ia membangun dinding kokoh di sekeliling hatinya. Baginya, pernikahan dengan Gemma hanyalah jalan menuju kehancuran-kehilangan kendali atas hidup yang baru saja ia coba rangkai.
Namun, Gemma berbeda. Pria itu bukan tipe yang menyerah pada dinginnya Hanna. Meski tanpa cinta, Gemma berusaha membuktikan bahwa pernikahan ini tak harus menjadi neraka seperti yang Hanna pikirkan. Perlahan, Gemma mencoba memahami luka Hanna, meski ia tahu bahwa hatinya sendiri mungkin tak akan pernah diterima.
"Sejak awal juga dah aku bilangin, kamu nggak bakal tahan sama aku. Dah jangan atur-atur hidupku lagi!!!" - Hanna Bimansyah.
"Mas bukan mau mengatur hidup kamu, mas khawatir sama keadaan kamu. Tidak masalah kamu belum menerima mas sebagai suami, tapi tolong selalu beritahu mas kalau mau pergi, ya" Gemma Putra Amato.