Frederick van Lempung duduk bersandar di bawah pohon ek tua, daunnya yang lebat memberikan naungan dari terik matahari. Udara di sekelilingnya terasa tenang, hanya diiringi oleh semilir angin yang membawa aroma tanah kering dan rerumputan liar yang menyebar di sepanjang padang. Di kejauhan, suara sungai kecil yang mengalir membelah lembah menciptakan ritme yang nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk melengkapi ketenangan hari itu.
Di sekeliling Frederick, padang hijau membentang sejauh mata memandang, menyelimuti lanskap perbukitan lembut yang berujung pada kaki pegunungan yang membiru di kejauhan. Udara segar dari pegunungan itu perlahan merayap turun, membuat suasana semakin nyaman. Hanya satu atau dua burung elang terbang melayang tinggi di atas, melingkari angkasa dengan sayap mereka yang membentang lebar.
Di depannya, tergeletak senapan panjang berlaras halus, yang bersinar dalam cahaya matahari yang menerobos celah-celah dedaunan. Dengan telaten, Frederick membersihkan setiap inci dari senjatanya itu, gerakan tangannya perlahan namun presisi, seolah senjata itu bagian dari dirinya. Setiap bagian kecil dirawat dengan penuh perhatian, kain pembersih menyapu pelan sepanjang laras dan ruang peluru. Matanya fokus, tajam dan tenang, seperti binatang pemangsa yang sedang menunggu mangsanya.
Di sebelah kanannya, secangkir kopi hitam mengepul pelan. Aromanya membaur sempurna dengan udara sejuk yang membawa sedikit bau embun dari rerumputan. Sesekali, Frederick berhenti sejenak dari pekerjaannya, mengangkat cangkir itu, dan menyeruput pelan isinya. Kopi itu pahit, seperti biasa, tapi justru itulah yang dia sukai. Rasanya sederhana, tidak banyak gangguan, hanya kekuatan yang murni. Sama seperti hidup yang dia pilih-kesederhanaan dalam fokus, tanpa gangguan emosi atau kemewahan yang tak perlu.