Diceritakan pada abad pertengahan keraajaan sihir, seorang ratu tengah mengandung bayi kembar, bayi kembar itu adalah perempuan. Tetapi , ada bangsawan yang bekerja sama dengan penyihir jahat untuk membuat ratu jatuh sakit karena bangsawan itu adalah saingan ratu sihir putih. Saat acara tujuh bulanan, ratu mengalami kontraksi tepatnya saat meteor jatuh. Saat acara berlangsung, Ratu Angelica terjatuh di lantai dan pingsan. Acara juga dibubarkan, para dayang memanggil tabib istana. Saat bayi kembar lahir karena kondisi ratu yang koma, ke dua bayi ini terlahir premature. Tabib berkata bahwa ke dua anak kembar ini mengalami cacat. Sang kakak mengalami lemah jantung dan lumpuh, terdapat tumor juga yang harus diangkat di rahim. Sang adik mengalami tuna netra dan lemah jantung juga. Para tabib disuruh berhati-hati, karena demi kerajaan penyihir putih. Dua puluh lima tahun berlalu, Anne dan Eve tumbuh menjadi pribadi yang baik dan belajar sihir dengan rajin. Anne yang mengetahui Eve tidak bisa melihat, ia menjadi mata ke dua buat Eve.
Saat dia memasuki kelas, ada seorang bangsawan yang tertawa. Anne sebagai kakak menyerang dan mengetahui apakah sepupu jahat yang membuat mereka menjadi lemah. Anne ditemani seorang bangsawan dari kerajaan sihir putih dia bernama Alban, lelaki yang memakai pakaian bangsawan mencari tabib bersama Hector untuk menolong Anne dan Eve. Namun tidak ada satu tabib yang bisa menyembuhkan putri kembar kerajaan sihir.
Anne kemudian mencari tahu dengan sahabat kecil, ia mengirim mata-mata dan berlatih peta serta mantra sihir untuk menemukan dalang penyebab ia dan Eve terlahir cacat. Anne belajar sihir medis, sihir tanaman, sihir pedang dan bermain piano meski pun ia tidak sehat.
Sampai suatu hari, ia mendapat petunjuk bahwa yang mengirim sihir adalah saudari sepupu Anne. Dan penyihir hitam yang mengutuk Ratu, Anne, dan Eve juga bersekongkol dengan bangsawan. Penyihir hitam digaji dengan satu karung emas oleh bangsawan yang jahat.
"Ah, Vicenna. Kendati seorang janda, ia tetap memesona."
36 tahun melarikan diri, Giaccarini Franco akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Siapa yang menyangka, kedatangannya ke Leiden sebagai mahasiswa ilmu kimia pada tahun 1764 kini menuntut lehernya untuk digorok sebagai bayaran atas tindakannya melanggar hukum negara tersebut.
Saat eksekutor datang padanya dengan sebilah pedang yang penuh aroma darah, Giaccarini Franco untuk terakhir kali tersenyum mengendus aroma yang mengingatkannya pada sang kekasih yang gagal dihidupkannya kembali. Aroma itu mungkin akan mengantarkannya pada memori yang telah lama layu.