Rasanya menyumpal mulut para tetangga menjadi resolusi abadi Kamayel. Cibiran miskin lah, dekil lah, tak punya masa depan, ah ... Kamayel muak. Berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan nyatanya tak membuat mereka berhenti, apalagi di usianya kini. Kupingnya sudah pengang mendengar ocehan mereka yang tak punya inovasi untuk sekadar berbasa-basi. "Kapan nikah? Kok nggak pernah bawa pacar ke rumah? Mana gandengannya? Mentang-mentang sudah mapan, pasti standar istrinya jadi ketinggian."
Apa salahnya masih sendiri di usianya kini? Toh angka 30 masih sangat wajar untuk mengejar mimpi dan karier bagi seorang lelaki. Pun perempuan, tak ada tanggal kadaluwarsa untuk berkeluarga, bukan? Karenanya, Kamayel hidup dengan rutuk pada banyak hal, terus mengutuk tiap orang, hingga hak diri atas cinta ... diabaikan tanpa sadar.
Sampai, halte dan hujan membawanya pada seseorang serta kisah yang panjang: tentang ikhlas tanpa batas, syukur tanpa ukur, menerima tanpa tuntut apa-apa, juga tentang diri ... dan Ilahi. Kamayel ... dibuat membuka mata sebab kalimat sederhana, "Wahai jiwa yang tenang ... cinta tidak bisa menembus kepala dan hati yang riuh, Pak."
"Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya." Jadi, mari menjadi bagian yang tenang, di antara riak dan riuhnya kehidupan.