Keringat dingin mulai membasahi tengkukku. Angin malam yang tadinya sepoi-sepoi, kini terasa menusuk tulang. Bayangan pohon beringin di kejauhan tampak seperti sesosok nenek sihir yang siap menerkamku.
"Tenang, Rendi. Itu cuma pohon. Cuma pohon. Kamu ini tukang bakso, bukan tukang takut," gumamku, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, dari balik rerimbunan bambu, muncul sesosok perempuan berambut panjang, mengenakan gaun putih panjang. Cantik sih, tapi... mukanya putih pucat seperti mayat! Jantungku serasa copot dari tempatnya.
Dengan susah payah, kutata napas dan memberanikan diri bertanya, "M-mau pakai apa, Mbak?"
Dia hanya memandang lekat-lekat. Matanya merah menyala! Aku sampai memejamkan mata, tak sanggup melihatnya.
"P-pakai..sa-sambal... pe-pedas..."
Tangan gemetarku mengambil mangkok dan mulai meracik bakso secepat kilat. Kuambil centong dan-astaga! Baksonya bergerak-gerak! Bakso di dalam panci itu tiba-tiba hidup dan membentuk formasi aneh!
"Jangan takut... Aku hanya lapar..." bisik suara serak di telingaku. Bulu kudukku merinding.