Sebagai ketua organisasi, Ria hanya menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab tanpa merasa perlu terlibat secara emosional atau terlalu dekat dengan siapapun. Baginya, peran sebagai pemimpin cukup sebatas memastikan semua berjalan dengan baik dan anggota melaksanakan tugas masing-masing. Ia membatasi dirinya, menjaga profesionalitas, dan berusaha tak terbawa perasaan dalam setiap interaksi.
Namun, di luar dugaan, perhatian Ria justru terpaku pada Bima, seorang adik kelas yang berada di bawah naungan tanggung jawabnya. Bima adalah sosok yang sederhana namun memikat-lemah lembut, sopan, dan sedikit pemalu. Di balik kesan pendiamnya, ia kerap menampilkan sisi humoris yang tak terduga, seolah mampu mencairkan suasana dengan cara yang halus dan tak berlebihan.
Lambat laun, interaksi mereka berkembang. Awalnya hanya diskusi seputar tugas dan kegiatan organisasi, tapi perlahan melebar menjadi percakapan yang lebih personal-tentang minat, harapan, dan mimpi masa depan. Tanpa disadari, Ria mulai melihat sisi-sisi lain dari Bima yang membuatnya tertarik. Bukan hanya kepatuhannya dalam menjalankan tugas, tapi juga ketulusan dan kejutan-kejutan kecil yang ia bawa dalam setiap pertemuan.
Bagi Ria, perjalanan ini bukan hanya tentang menjalankan kewajiban sebagai pemimpin. Lebih dari itu, ia sedang berhadapan dengan perasaan baru yang tak pernah ia duga akan hadir-perasaan yang membuatnya mempertanyakan batas antara tugas dan kedekatan pribadi. Mungkinkah di balik sikap formalnya, ia mulai menemukan seseorang yang berarti?