6 parts Ongoing Sagara terbaring lemah di ranjang, napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun tak beraturan.
Rasa nyeri mencengkeram jantungnya, seakan-akan ada tangan tak kasatmata yang meremasnya tanpa ampun.
Keringat dingin membasahi pelipisnya, bibirnya membiru, dan setiap tarikan napas terasa seperti bertaruh nyawa.
Launa duduk di sampingnya, menggenggam jemari dingin suaminya erat-erat.
"Tahan sebentar lagi, Sayang..." bisiknya, suaranya penuh ketakutan, tapi tetap lembut seperti biasanya.
Sagara mencoba tersenyum, meski wajahnya lebih mirip seseorang yang menahan perih. "Aku... capek..." suaranya hampir tak terdengar, terputus-putus oleh sesak yang menghimpit.
Air mata Launa jatuh tanpa bisa ditahan.
Ia menempelkan dahinya ke punggung tangan Sagara, berusaha menyalurkan kehangatan meski tahu itu tak akan cukup. "Jangan bilang gitu... aku di sini, Sagara. Aku selalu di sini..."
Di antara nyeri yang mengiris dan kesulitan bernapas yang kian menjadi-jadi, Sagara hanya bisa menatap istrinya dalam diam.
Mungkin, kalau ini akhirnya, ia bersyukur karena yang terakhir ia lihat adalah wajah Launa-cahaya terakhir dalam hidupnya yang suram.