Di penghujung tahun, aku belajar merelakan yang tak lagi seharusnya kugenggam. Dalam perjalanan panjang penuh kehilangan, kerinduan, dan keikhlasan, aku menyadari bahwa mencintai dalam diam seringkali tak cukup untuk membuat seseorang tetap ada. Begitu banyak momen yang terlewat, kata-kata yang tak sempat terucap, dan perasaan yang tak lagi bisa dipertahankan.
Cerita ini adalah refleksi tentang menerima kenyataan, tentang mencintai tanpa berharap, dan tentang bagaimana waktu dengan sendirinya menghapus nama seseorang yang pernah sangat berarti. Melalui bab yang penuh makna, aku belajar bahwa terkadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk mengikhlaskan. Hanya ada sisa waktu yang mengajarkan aku untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri.
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens.
"Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gue, rotinya yang enak banget atau emang gara - gara dari orang special?" Mahes bertanya sambil menatap tepat pada mata Aira.
"Eh.. Tuan mau?" Aira mengerjapkan matanya.
"Mau, gue mau semuanya!" Mahes merebut bungkusan roti yang masih berisi banyak, kemudian langsung membawanya pergi. Aira reflek mengejar Mahes.
"Tuan kok dibawa semua? Aira kan baru makan sedikit," Aira menatap Mahes dengan raut memelas.
"Mulai perhitungan ya lo sekarang sama gue."
"Enggak kok, tapi kan rotinya enak, Aira masih mau lagi," Aira berkata dengan takut-takut.
"Ga boleh!" Mahes langsung melangkahkan kakinya ke arah tangga menuju kamarnya. Aira langsung cemberut menatap punggung Mahes yang mulai jauh.
Cerita dengan konflik ringan