Irenedya Maria Hansen tumbuh dalam lingkungan yang saling bertolak belakang. Sisi hidupnya ada musik, lalu sebagian sisinya lagi ada sepak bola. Menghabiskan waktu berjam-jam berlatih violin di bawah bimbingan ibunya sejak ia berusia 5 tahun dan sebagian sisinya lagi terbiasa mendengar ayahnya berbicara tentang klub bola dan strategi-strategi di lapangan.
Namun, tragedi mulai terjadi saat ia berusia 10 tahun. Ibunya tiba-tiba meninggalkan dirinya, kehilangan itu membuat Irene berteked tidak akan berhenti dan mewarisi bakat dari ibuya namun naasnya saat sedang gencar-gencarnya meraih dan berkeinginan penuh pada musik, ia justru dipertemukan oleh seorang laki-laki yang memiliki pandangan lain tentang musik.
Permainan takdir dimulai. Seolah mengikuti arus langkah kemana pun kaki mereka berpijak.
Kevin Diks, berulang kali menegaskan bahwa dirinya tidak akan pernah bisa hidup berdampingan dengan musik namun nyatanya dipaksa hidup oleh seseorang yang selalu searah dengan musik hingga membawa mereka pada kehidupan yang sarat akan cinta, pengorbanan, kebencian dan harapan untuk saling melengkapi.
Pertemuan itu membawa ironi: Kevin Diks membenci musik, kontras dengan passion yang dimiliki oleh Irenedya Maria Hansen.
"Aku tidak bisa mendengar musik tanpa merasa sakit, kuharap kamu bisa mengerti" kata Diks dengan dingin.
Irene terkejut, merasa tidak adil, "Bagaimana kita bisa hidup bersama jika musik adalah bagian dari hidupku".
Family, commitment, marriage life, passion, fated, love.
-Kevin Diks Bakarbessy, Irenedya Maria Hansen- Our FABULA