Pertemuan itu terjadi di tengah keramaian dunia maya, sebuah match sederhana di pertengahan Maret 2023 yang kelak mengubah banyak hal. Awalnya hanya percakapan ringan di sebuah aplikasi dating apps, tetapi siapa sangka, itu adalah awal dari cerita yang mendalam sekaligus memilukan.
Hari pertama Ramadan menjadi momen pertama kami bertemu. Matahari mulai meredup, dan kota dipenuhi hiruk-pikuk orang mencari takjil. Aku melihatnya untuk pertama kali, sosok yang selama ini hanya kutemui di layar ponselku. Dia tampak biasa saja-kaos sederhana, senyum tipis, dan langkah tenang-tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku yakin pertemuan ini istimewa.
Kami duduk bersama, membiarkan suasana buka puasa di sekitar menjadi latar. Tiga jam berlalu begitu saja, tanpa hening yang canggung, tanpa jeda yang mengganggu. Obrolan kami mengalir seperti sungai yang menemukan jalannya sendiri. Saat itu, aku pikir aku telah menemukan rumahku-tempat di mana aku bisa merasa aman dan dicintai tanpa syarat.
Hubungan kami tumbuh dari hari ke hari. Rencana-rencana besar mulai kami susun. Tentang rumah kecil yang akan kami tinggali bersama, tentang kehidupan sederhana yang akan kami jalani tanpa campur tangan siapa pun, tentang mimpi untuk saling mendukung dan tumbuh sebagai pasangan. Aku mencintainya dengan seluruh hati, dan aku percaya dia pun merasakan hal yang sama.
Tapi semuanya berubah di bulan Mei 2024-bulan kelahiranku, yang ironisnya justru menjadi bulan di mana dia menghancurkan semua yang pernah kami bangun. Dia yang mengakhiri semuanya. Tanpa banyak kata, tanpa peringatan yang jelas. Rasanya seperti tertikam dari arah yang tak kuduga. Aku bertanya-tanya, apa yang salah? Apa yang kurang dari aku, dari kami? Tapi jawaban itu tak pernah benar-benar datang. Yang tersisa hanya keheningan dan retakan di hatiku yang tak tahu kapan akan sembuh.