"Tanah Air Memanggil" adalah kisah tentang lima mahasiswa Indonesia yang merantau di Finlandia, membawa mimpi besar sekaligus beban masa lalu. Di bawah dinginnya langit Helsinki, Tari, Reza, Dian, Aliyah, dan Raka menghadapi pergulatan batin: rindu tanah air, tetapi kecewa dengan kenyataan di Indonesia. Masing-masing membawa luka dan harapan dari ketidakadilan hukum, kerusakan lingkungan, korupsi, hingga seni yang dipinggirkan.
Dalam sebuah pertemuan diaspora, mereka menyadari bahwa cinta mereka pada Indonesia lebih besar dari luka yang mereka bawa. Sebuah undangan dari pemerintah memanggil mereka untuk pulang, memberikan kesempatan untuk berkontribusi nyata. Namun, kembali ke tanah air berarti menghadapi ketidakpastian, tantangan, dan kenyataan yang tak selalu indah.
Dengan latar kota Helsinki yang penuh ketenangan dan kontras Jakarta yang hiruk-pikuk, novel ini menggali isu-isu sosial, budaya, dan perjuangan generasi muda. Ini adalah cerita tentang keberanian, cinta pada tanah air, dan tekad untuk membawa perubahan, meski kecil sekalipun. Apakah mereka mampu menjawab panggilan tersebut, atau justru terperangkap dalam dilema dan kegagalan? "Tanah Air Memanggil" adalah kisah inspiratif yang menyentuh hati tentang perjalanan pulang, baik secara fisik maupun emosional.
"Wes dhuwur, gedhe, gagah, resik, bagus ngono seh dadi dudo. Ancene Rita keblinger wong taiwan" Andin yang mendengarnya pun kaget mendengar perkataan ibu-ibu disampingnya tadi.
*Udah tinggi, besar, gagah, bersih, ganteng gitu masih jadi duda, dasarnya rita ngebet sama orang Taiwan
Pasalnya Andin kan baru saja pindah setahun, ia tahu bahwa Juragan yang sedang dibicarakan ibu-ibu ini seorang duda beranak satu. Tapi Andin tidak tahu sebab ia menjadi duda. Banyak gosip beredar, kalau laki-laki dengan panggilan Juragan itu menjadi duda karena sudah tidak bisa 'berdiri', karena 7 tahun menduda belum juga menikah lagi, padahal dari tampangnya menurut Andin ga jelek-jelek amat, masih bagus kalo buat diajak kondangan.
"Mosok ngono toh bu? Jarene bu endang malah wes raiso 'ngene'" sambung bu yayuk sambil menggerakan jarinya mempraktikan apa yang dimaksud nganu, dengan telunjuk yang mengacung.