[Markno] jangan salah lapak.
Perlu diingat, cerita ini sepenuhnya berasal dari imajinasi saya dan merupakan karya fiksi. Tolong jangan dihubungkan dengan dunia nyata, karena ini hanya cerita fiktif. Saya juga hanya meminjam nama asli beberapa karakter, namun untuk visual dan nama pemerannya, sebagian besar terinspirasi dari anggota NCT. Nama-nama tersebut bisa saja berubah jika saya merasa menemukan nama yang lebih sesuai dengan karakter dalam cerita ini.
Tahun 1942.
Di tengah hujan deras yang mengguyur, seorang pria muda berlari dengan wajah penuh luka. Mark, yang masih mengenakan seragam Belanda yang koyak, terjatuh di bawah pohon besar, tubuhnya penuh dengan darah. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kalung emas bertuliskan nama Eric.
Di kejauhan, suara langkah pasukan Belanda terdengar mendekat. Mark merasakan seluruh tubuhnya kaku, rasa sakit yang mencekam, namun yang lebih menyesakkan adalah ingatan tentang apa yang baru saja terjadi.
Eric-pria yang sangat ia cintai-tergeletak tak bernyawa, tubuhnya terluka parah setelah dipukuli oleh tentara. Mark melihat semua itu tanpa bisa berbuat apa-apa, mata penuh air mata dan dendam yang semakin membara.
Namun, sebelum ia bisa berbuat lebih banyak, Mark ditangkap. Mereka mengikatnya, menyiksanya dengan cara yang sangat kejam, tubuhnya dipenuhi luka-luka yang tak terbayangkan. Mark tahu, saat itulah ia akan mati.
"Tidak ada yang bisa menghentikan kami," kata salah seorang penjajah, menatap Mark dengan kejam.
Mark hanya bisa menatapnya dengan mata penuh kebencian. "Kalian akan membayar semua ini," desisnya.
Dan setelah itu, ia kehilangan kesadaran.
Namun, tubuhnya tidak benar-benar mati. Seiring berjalannya waktu, Mark menjadi sesuatu yang lebih gelap-sebuah arwah yang terperangkap oleh rasa dendam yang tidak bisa dia lepaskan.
Kesalahan terbesar adalah bermain-main dengan jual beli, iseng Dipta dan ketiga temennya menjual diri ke sekelompok Tuan putri dari anak para Tuan-Tuan kolongmerat justru membawa mereka pada kesalahan terbesar. Nyawa mereka sebagai taruhan, persembahan darah, raga dan jiwa harus digadaikan untuk pemujaan.
Hanya ada dua pilihan, menjadi budak atau mati demi menyelamatkan diri.
Lalu apa yang akan Dipta dan ketiga temannya pilih?
Baca selengkapnya =>