Di Desa Cantara, sebuah tempat yang memadukan keindahan alam dan kehidupan sederhana, delapan anak tumbuh bersama dalam harmoni tawa dan permainan yang menjadi nafas kebahagiaan mereka. Rama, Satria, Anira, Wendi, Sisca, Reza, Naira, dan Endi mengisi sore-sore desa itu dengan permainan seperti petak umpet, congklak, dan sepak bola, menciptakan persahabatan yang tumbuh seperti benih yang dirawat oleh mimpi-mimpi kecil mereka. Namun, waktu dan teknologi perlahan mengubah dinamika itu; tanggung jawab memisahkan mereka, dan permainan tradisional tergantikan layar ponsel yang dingin. Meski masa kecil mereka memudar, kenangan tetap hidup, terukir di setiap sudut desa yang menjadi saksi perjalanan mereka. Desa Cantara, yang berarti "jembatan", menghubungkan masa lalu yang penuh kebahagiaan dengan masa depan yang penuh tantangan, menyimpan cerita mereka sebagai bagian abadi dari alirannya.
Hari-hari berlalu dengan jejak-jejak waktu yang tak kembali, membawa Naira dan Endi meninggalkan masa pondok pesantren untuk menghadapi dunia SMK yang lebih luas, sementara Satria memilih tetap di pesantren, menempuh jalan sunyi menuju mimpi. Musim liburan menjadi peluang bagi mereka untuk kembali bersatu, dimulai dari obrolan riuh di grup WhatsApp yang penuh candaan. Malam itu, setiap pesan yang terkirim menjadi alunan melodi yang membangkitkan antusiasme petualangan, diiringi tawa dan kehangatan yang lama tak mereka rasakan. Pagi datang dengan cahaya malu-malu, menyaksikan mereka berkumpul di rumah Naira, menyusun barang-barang ke dalam mobil dengan harapan besar. Perjalanan itu bukan hanya fisik, tetapi juga perjalanan emosional yang membawa mereka lebih dekat, menemukan persahabatan sejati, kedewasaan, dan dunia yang lebih besar dari imajinasi mereka. Dengan langkah penuh harap, mereka memulai petualangan ini bersama, menghadapi mimpi yang lama tertunda dengan hati penuh keberanian.
Banyaknya darah adalah bukti bahwa pertarungan pernah terjadi di sini. Tujuannya datang ke Indonesia adalah untuk memastikan hal itu. Nama orang ini adalah Asano Takatou, Seorang peneliti yang berasal dari Jepang.
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saat Asano masih kelas satu SMA, ada sebuah kejadian berdarah di sebuah stadiun sepak bola di Indonesia yang mengharuskan stadiun tersebut ditutup paksa oleh pihak yang berwenang.
Kejadian itu sempat menjadi ramai diperbincangkan di dunia sepak bola, bahkan mendapat dukungan moral dari berbagai klub internasional. Namun, yang namanya berdarah tentunya tidak indah. Banyak orang yang melewati stadiun ini dan merasakan berbagai macam kejanggalan.
Asano yang saat ini berumur 25 tahun dan sudah menjadi peneliti ternama di Jepang, tertarik untuk meneliti hal ini dan keinginannya itu disetujui oleh pemerintah Jepang. Asano pun segera terbang ke Indonesia untuk memastikan apakah stadiun tersebut banyak mengalami hal aneh seperti yang dirumorkan?