Hujan mengguyur jalanan Jakarta malam itu, menyisakan genangan kecil di trotoar yang sepi. Jiayuan berdiri di bawah payung hitam, menatap ke arah sebuah kafe. Di dalam, terlihat sosok yang dulu ia kenal dengan sangat baik-Keyu.
Wajah itu tak banyak berubah. Senyumnya masih sama, hangat dan menenangkan, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Jiayuan terdiam. Seolah-olah waktu berhenti, membawanya kembali ke tahun-tahun yang ia tinggalkan di belakang. Tahun-tahun di mana ia hanyalah seorang pria muda yang takut menghadapi dirinya sendiri, apalagi dunia.
Jiayuan memalingkan wajah, menarik napas dalam-dalam. Di bawah langit kelabu, ia merasa seperti remaja yang sama, penuh ketakutan dan rasa bersalah. Keyu adalah bagian dari hidupnya yang ia coba tinggalkan di Jepang, bersama rasa malu dan kebencian terhadap dirinya sendiri.
Namun, kini ia kembali. Kembali sebagai seseorang yang berbeda. Atau setidaknya, itulah yang ia yakini. Tapi, mengapa hanya dengan melihat Keyu, semua tembok yang ia bangun runtuh begitu saja?
Malam itu, Jiayuan menyadari bahwa tak peduli sejauh apa ia pergi, tak peduli sekeras apa ia mencoba melupakan, masa lalu akan selalu menunggu. Dan di sinilah ia sekarang, berdiri di ambang pintu cerita lama yang ia kira telah selesai.
Tapi cerita ini belum selesai.
Tidak ketika Keyu menoleh dan menangkap pandangannya.