Hujan baru saja reda di sebuah sudut kota London. Aroma tanah yang basah bercampur udara dingin menyelusup ke dalam apartemen sederhana milik Alina, seorang perempuan 27 tahun yang tengah duduk di depan layar laptopnya. Matanya lelah, namun senyum tipis tersungging di wajahnya. Presentasi proyek yang telah ia kerjakan selama berminggu-minggu akhirnya rampung.
Alina memandang keluar jendela, menatap bayangan dirinya di kaca. Tidak pernah ia membayangkan, gadis sederhana dari kampung kecil di Indonesia, yang dulunya harus tidur beralaskan tikar karena keterbatasan ekonomi, kini berhasil menjejakkan kaki di dunia yang berbeda-dengan gelar doktor di bidang ekonomi.
Namun, di balik semua pencapaiannya, ada rasa kosong yang tak pernah benar-benar hilang. Ia merindukan aroma kopi hitam yang biasa diseduh ayahnya, masakan ibunya, dan suara tawa kakaknya, Dewi.
Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar. Alina tersenyum dan mengangkat telepon itu.
"Sudah selesai kerja kerasnya?" Suara pria itu terdengar hangat di seberang telepon.
"Baru saja selesai. Kamu sendiri?"
"Aku lagi merapikan beberapa dokumen untuk rapat besok. Tapi sebenarnya aku lebih sibuk memikirkan kamu."
Alina tertawa kecil. Mereka bertemu di konferensi bisnis di Paris tiga bulan lalu, dan sejak itu, Arsen selalu berhasil membuatnya merasa istimewa.
"Kamu serius ingin ikut aku kembali ke Indonesia?" tanya Alina, mencoba memastikan.
"Sudah berkali-kali aku bilang, Alina. Aku tidak hanya ingin bersamamu di sini. Aku ingin bersamamu di mana pun, termasuk di rumah kita nanti, di Indonesia."
Kata-kata Arsen membuat hati Alina bergetar. Kembali ke tanah air bukan perkara kecil.
Ia tahu hubungan ini bukan hanya tentang mereka berdua, tetapi juga tentang keluarga, tradisi, dan masa lalu yang tak sepenuhnya mereka kenal. Keputusan yang akan mereka buat tidak hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga mengungkap rahasia yang selama ini tersembunyi.