Rasa sakit yang paling menyiksa itu berasal dari orang yang paling kita sayangi.
"Darrel, gue capek sama lo. Kita sampai sini aja, ya," suara Clara lirih, hampir tenggelam di antara bunyi hujan yang menghantam jendela.
Hujan turun begitu deras, seolah langit ingin menangisi perasaan kedua insan itu. Di sudut ruangan rumah sakit, alat pendeteksi jantung terus berbunyi, menjadi saksi pilu dari momen ini.
Darrel duduk di samping brankar rumah sakit, bahunya terguncang karena tangis yang tak mampu ia tahan lagi. "Ra, gue nggak mau... Lo milik gue sepenuhnya. Gue nggak mau ninggalin lo, apapun alasannya."
Clara melepas masker oksigen yang menutupi wajahnya. Tawanya pecah, namun tak ada kebahagiaan di sana, hanya kepahitan yang begitu kentara. "Tapi hati lo bukan milik gue sepenuhnya, Rel. Lo egois!"
Darrel terdiam, menelan pil pahit itu dengan dada yang terasa sesak. "Jadi semua ini gara-gara Liona?" tanyanya dengan suara yang nyaris patah.
"Dia juga sakit, Ra. Dia orangnya lemah, gue nggak tega nolak Liona saat dia butuh bantuan."
Clara mengangguk pelan, namun matanya tajam menusuk. "Iya, gue tahu. Dia itu sakit jiwa!" Nada suaranya meninggi, membuat napasnya semakin berat, seolah setiap kata menyayat dirinya sendiri.
Semua itu terasa seperti luka yang tak akan pernah bisa sembuh-dua hati yang saling mencintai namun terjebak dalam lingkaran yang sama-sama melukai.
"Aku suka sama Kak Al."
Rea mengatakannya tanpa ragu. Tenang. Pelan. Tapi dalam dadanya, jantungnya berdebar seperti genderang perang.
Lapangan basket sore itu sepi. Matahari sudah tenggelam separuh, menyisakan semburat jingga yang menggantung di langit. Angin membawa bau rumput basah dan suara tiang ring basket yang berderit pelan. Di tengah sunyi itu, Rea berdiri, seragamnya masih rapi, rambutnya dikuncir seadanya, dan matanya menatap Kak Al, lurus.
Alvano menoleh, pelan. Keringat masih menempel di pelipisnya, dan bola basket tergenggam di tangan kirinya. Ia diam.
"Apa tadi?" tanyanya, suaranya rendah. Tidak kaget. Tapi juga tidak menjawab.
Rea menarik napas. Ia benci mengulang. Tapi kali ini berbeda.
"Aku suka sama Kak Al," ulangnya, lebih lirih. "Dari awal aku lihat Kakak main di lapangan. Aku tahu ini mungkin... aneh. Tapi aku cuma pengen jujur."
Ia tidak terbiasa berkata seperti ini. Tidak terbiasa membeberkan isi hati. Tapi Rea bukan pengecut. Ia adalah seseorang yang lebih takut menyesal karena diam daripada malu karena gagal.
"Aku tahu Kakak mungkin nggak mikir apa-apa. Tapi aku cuma pengen bilang," lanjutnya. "Supaya kalau besok-besok aku canggung atau... ngelihatin Kakak diam-diam, Kakak tahu alasannya."
Sunyi.
Kak Al memutar bola basket di ujung jarinya. Lalu berhenti. Tatapannya tidak tajam, tapi ada sesuatu yang menggantung di dalamnya. Berat.
"Rea..." katanya. Lembut. Tapi nadanya membuat dada Rea mengeras.
"Kamu manis. Kamu juga berani. Tapi..."
Rea mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski wajahnya menegang.
"Aku udah punya pacar."
Deg.
Rea tidak menangis. Tidak mundur. Tidak bertanya siapa. Ia hanya berdiri. Diam. Lalu berkata, "Nggak apa-apa, Kak."
Yang tidak dia tahu, pacar Kak Al itu... adalah Dara. Kakaknya sendiri.
Dan semuanya... baru saja dimulai.