Ketika Gracia Larasati Candrakirana, seorang perempuan modern yang tumbuh di kota besar, dipertemukan dengan Sean Daniswara Bagaskara, seorang pria yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat Jawa, keduanya harus menghadapi perbedaan dunia yang mereka miliki. Cinta membawa mereka pada satu keputusan besar: menikah. Namun, keputusan itu bukan sekadar tentang cinta, melainkan juga tentang menghidupkan kembali tradisi yang mulai terlupakan.
Dari persiapan pernikahan adat Jawa yang penuh makna-mulai dari lamaran (paningset), siraman, hingga panggih di pelaminan, perjalanan mereka tak hanya menguji kesabaran tetapi juga menyatukan keluarga besar dengan berbagai karakter dan pandangan.
Setelah menikah, kehidupan rumah tangga mereka menjadi arena baru untuk saling belajar. Gracia, yang awalnya merasa asing dengan adat dan tata krama Jawa, perlahan mulai memahami arti mendalam di balik setiap tradisi. Sementara Sean belajar bahwa cinta juga berarti memberi ruang untuk modernitas.
Mampukah mereka menjaga janji setia di tengah tantangan hidup, perbedaan budaya, dan harapan keluarga besar? Cerita ini mengajarkan bahwa cinta sejati tak hanya soal dua hati, tapi juga bagaimana menyatukan dua dunia dengan harmoni tradisi.
Tentunya, menyatukan 2 budaya juga.
Mayor Teddy menyebut Diajeng Serena sebagai Ratu 1001 Modus. Dua tahun terakhir menjalin hubungan tanpa status tak membuat Teddy menjawab soal kepastian.
Lewat tuts piano setelah pertengkaran mereka kala itu, Serena menyuarakan perasaannya. Tentang sakitnya, tentang kecewa dan tentang ikhlasnya.
Serena pernah meminta Teddy mempersembahkan satu lagu untuknya yang ia abaikan, tapi kala itu tanpa diminta Teddy menekan tuts piano demi Serena.