Adikarya Baskara

Sejujurnya, Baskara takut mati. Dia takut ia mati dengan tak membawa bekal apa-apa, dengan tidak mencatat sejarah besar di benak para keluarganya. Selain itu, ia juga takut seluruh anggota keluarganya pergi meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Tanpa pamit, apalagi saling berbagi pelukan perpisahan.

Baskara tidak akan sanggup jika mereka meninggalkannya, apalagi dengan dia yang tidak akan bisa menjadi siapa-siapa tanpa mereka.

Baskara tak akan dapat hidup dengan tenang, baginya, mereka adalah separuh nyawa Baskara.

Otomatis jika salah satu dari mereka pergi, setengah nyawa Baskara juga lantas terenggut. Maka setelahnya, Baskara akan berubah menjadi manusia yang jiwanya tak utuh, begitu pula dengan hatinya yang kembali memiliki luka yang masih basah karena disayat-sayat akan kehilangan itu sendiri. Baskara tak mau, dia tak akan sanggup.

Baskara ingin terbebas dari segala perspektifnya yang terkadang diluar kemauannya sendiri, dia tidak ingin menjadi anak lelaki dengan segala tekanan dari isi pikirannya. Kalau bisa, ia ingin menjadi ikan pari yang dapat bebas berenang-renang ke dasar samudera, tanpa beban, apalagi sampai menimbang-nimbang. Baskara hanya ingin, bebas.

"Nda, kalau Abang menarik diri Abang biar nanti lukanya nggak terlalu sakit kalau Nda pergi, nggak apa-apa, kan?"

"Jangan, Abang. Jika seperti itu, sakit yang Abang terima justru akan lebih parah."

"Maaf, Nda. Abang nggak sanggup."