Epilog ini menggambarkan bagaimana dua hati yang saling terhubung secara diam-diam memilih untuk menjaga cinta mereka dalam keikhlasan kepada Allah. Muhammad dan Ainul, dua insan yang dipersatukan oleh ikatan ilmu dan adab, menjalani jalan masing-masing dengan penuh kesadaran bahwa hubungan mereka dengan Allah lebih utama dari segala rasa.
Muhammad, dengan kesungguhan sebagai seorang ustadz muda, terus mendalami perannya sebagai pendidik. Ia menghadapi pergolakan hati dengan menjadikannya bahan doa dan refleksi, menuangkannya ke dalam bait-bait sya'ir yang indah. Sya'ir tersebut adalah wujud kerinduannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyerahkan segala perasaan manusiawinya kepada Sang Maha Pencipta.
Ainul, di sisi lain, melanjutkan pendidikannya dengan tekad yang kuat. Meskipun perasaan yang muncul di hatinya terasa samar, ia memilih untuk menjaganya dalam diam, tetap berpegang pada adab dan kesucian niatnya sebagai seorang santriwati. Ia yakin bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang tidak melanggar batas, tetapi menuntun pada perbaikan diri.
Di tengah kesibukan keduanya, mereka menyadari bahwa takdir Allah jauh lebih besar dari apa yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka kini diliputi oleh keikhlasan, tawakal, dan keyakinan bahwa cinta yang mereka miliki adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar.
Epilog ini menjadi penutup yang penuh makna, menyampaikan pesan mendalam bahwa cinta sejati tidak selalu terwujud dalam kebersamaan, tetapi bisa hadir dalam bentuk doa, harapan, dan perjuangan untuk menjadi lebih baik di hadapan Allah. Pembaca diajak merenungkan pentingnya menjaga hati, memuliakan adab, dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha Kuasa.
Kenta Bernard, a seventeen-year-old, died of leukemia in the hospital and was transmigrated in a novel that he has yet to finish. He is the ill second prince, who should have died by now. However, the God of Light bestowed upon him a light magic that enabled him to survive and begin a new, happier life.