Menjadi anak pertama bukan sekadar urutan kelahiran. Lebih dari itu, anak pertama sering kali menjadi harapan, penopang, dan pemimpin dalam keluarga. Dua kata sederhana "anak pertama" membawa begitu banyak tanggung jawab dan ekspektasi. Kuat, berhasil, sukses, membanggakan keluarga, memenuhi harapan orang lain, mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan tetap terlihat baik-baik saja meskipun lelah.
Namun, di balik semua itu, ada sisi yang jarang terlihat. Anak pertama lebih sering memendam, menelan keluh kesahnya sendiri, dan tetap melangkah meski hati rapuh. Bahkan untuk sekadar bercerita atau menangis, sering kali terasa sulit. Buku ini adalah refleksi bagi kita yang hidup dalam peran ini, tentang perjuangan, kelelahan, harapan, dan makna seorang anak bagi dirinya sendiri. Bukan sekadar tentang menjadi yang pertama. Tapi tentang menjadi seseorang yang tetap bertahan, meski dunia menuntutnya selalu kuat.
Setiap kesalahan kecilnya terasa besar, setiap kelelahannya dianggap lemah, dan setiap keluhannya dibalas dengan "Kamu kan anak pertama, harus kuat." Ia belajar menelan kata-kata yang ingin ia sampaikan, belajar tersenyum meski hatinya lelah, dan belajar mengalah meskipun ia juga ingin diperhatikan.
Namun, sampai kapan ia harus bertahan? Apakah menjadi anak pertama berarti harus selalu kuat, meskipun dalam hatinya, ia hanyalah seorang anak yang ingin dimengerti?
Cerita ini menggambarkan pergulatan batin seorang anak sulung yang dipaksa tumbuh lebih cepat oleh keadaan-menjadi dewasa sebelum waktunya, dan menghadapi beban yang tak selalu ia pilih.