Monovi pernah bermimpi menjadi dokter, tetapi dunia medis tak pernah menerimanya. "Dasar si dokter hematophobia!" Ejek rekan-rekannya, menertawakan ketakutan Monovi terhadap darah. Impiannya hancur, dan ia meninggalkan dunia yang mencemoohnya.
Namun, Monovi tidak menyerah begitu saja. Ia menciptakan terapinya sendiri-melukai tubuhnya dengan tangannya sendiri. Saat ibunya melihat luka-luka itu, wajah ibunya dipenuhi kekhawatiran.
"Siapa yang melukaimu?" Tanyanya dengan suara gemetar.
Monovi tersenyum licik. "Alleda! Dia yang melukaiku... hiks..." Isakan tangisnya terdengar begitu menyayat, begitu meyakinkan.
Sebulan setelah itu, Alleda ditemukan tewas di kampus. Tetapi bukan polisi yang menghukumnya, bukan juga Monovi atau ibunya yang menghabisinya. Namun, dunia tetap menunjuk Monovi sebagai pelaku. Tuduhan itu terus menghantuinya hingga ibunya sendiri meninggal karena penyakit jantung yang semakin memburuk.
Kini Monovi hanyalah cangkang kosong, kehilangan rasa dan emosi-didiagnosisnya: alexithymia. Namun saat akhirnya ia menemukan Deyru segalanya berubah. Monovi membalas luka yang ia derita, membunuh orang yang membunuh Alleda.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Monovi bisa tersenyum sempurna.
Tapi apa artinya 'senyuman sempurna' jika hanya membawa kehampaan?
Dengan satu tarikan nafas, satu langkah terakhir, Monovi memutuskan keputusan terakhir nya.
Ia tersenyum selamanya... Setelah satu detik menangis.