Razeyndra-atau Zeyn, begitu orang-orang memanggilnya-bukan remaja biasa. Sejak kecil, dia terbiasa hidup sendiri meski tinggal dalam rumah dengan Berbagai fasilitas, orang tuanya. Mereka terlalu sibuk mengejar ambisi dan karier, meninggalkannya dalam kesunyian yang lama-lama berubah jadi kebiasaan. Zeyn tidak ingat kapan terakhir kali dia merasa rumah benar-benar berarti.
Di luar rumah, dia menjalani kehidupan yang berbeda. Bersama gengnya, dia hidup dalam dunia yang keras-tempat darah, luka, dan pertempuran bukan lagi hal asing. Perkelahian bukan sekadar ajang unjuk kekuatan, tapi cara bertahan hidup, cara mengalihkan rasa sakit yang bahkan tak bisa dia ceritakan kepada siapa pun. Persahabatan dalam gengnya pun lebih mirip hubungan antar prajurit-setia, tapi tetap penuh kewaspadaan.
Rumah bukan hanya sekadar tempat, tapi juga perasaan.
Rumah adalah tempat di mana kita merasa aman, diterima, dan bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Itu bisa berupa bangunan dengan atap dan dinding, tetapi juga bisa berupa seseorang, momen, atau bahkan perasaan yang ngebuat kita tenang.
Rumah adalah tempat untuk pulang, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara hati.
"Gue terpaksa nikah sama lo, demi bayi yang ada di perut lo."
Kata-kata itu jatuh seperti pisau yang menancap tepat di hati Kiana Alisha. Pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia, kini hanya terasa seperti hukuman. Ia tidak diinginkan. Bukan sebagai istri, bukan sebagai seseorang yang layak dicintai.
Pria di hadapannya, sosok yang dingin dan kasar, menikahinya bukan karena cinta-hanya karena tanggung jawab, Tatapan matanya tajam, seolah berkata bahwa semua ini hanya sementara. Bahwa setelah bayi itu lahir, segalanya akan berakhir semuanya.
Namun, takdir selalu punya cara untuk mempermainkan hati manusia. Dalam kebencian, mungkin terselip perasaan yang tak terduga?