Story cover for Menunggu di Senja yang Salah by marknoona_
Menunggu di Senja yang Salah
  • WpView
    Reads 48
  • WpVote
    Votes 5
  • WpPart
    Parts 5
  • WpView
    Reads 48
  • WpVote
    Votes 5
  • WpPart
    Parts 5
Complete, First published Feb 07
Liana menyeka meja terakhir di sudut kafe sebelum akhirnya menghela napas panjang. Senja mulai merayap di balik jendela besar, menumpahkan cahaya keemasan ke dalam ruangan yang mulai sepi. Setiap sore, di jam yang sama, ia selalu berdiri di tempat yang sama-menunggu sosok yang diam-diam ia sukai datang.

Arga bukan pelanggan tetap, tapi cukup sering mampir untuk membuat Liana mengenalnya terlalu baik. Ia suka kopi hitam tanpa gula, selalu duduk di dekat jendela, dan lebih banyak diam sambil menatap layar laptopnya atau sekadar mengamati langit sore. Sesekali, mereka berbincang ringan, hanya obrolan basa-basi antara pelanggan dan waitress, tapi bagi Liana, itu lebih dari cukup.

Hingga suatu hari, Arga datang dengan seseorang di sisinya. Seorang perempuan dengan tawa renyah dan sorot mata yang penuh keyakinan. Liana berdiri di balik kasir, menyaksikan bagaimana Arga menarikkan kursi untuk gadis itu-sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dadanya terasa sesak, tapi ia tetap tersenyum, tetap menyapa seperti biasa, seolah dunia di dalam dirinya tidak sedang runtuh pelan-pelan.

Senja hari itu terasa lebih pekat, lebih dingin. Dan di antara denting cangkir dan obrolan pelanggan lain, Liana sadar bahwa ia menunggu di senja yang salah.
All Rights Reserved
Sign up to add Menunggu di Senja yang Salah to your library and receive updates
or
#10heartfelt
Content Guidelines
You may also like
cerita diatas kanvas by lil_scer3tt
13 parts Ongoing
Alea, seorang gadis remaja yang hidup dengan bayang-bayang masa lalu yang kelam, mencoba menemukan tempatnya di dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Dituduh sebagai penyebab kematian ibunya oleh ayah, kakak, dan adiknya, Alea terjebak dalam kesepian dan rasa bersalah yang mendalam. Dikhianati oleh sahabat terbaiknya dan dilanda penyakit turunan yang tak terduga, hidupnya seperti lukisan yang penuh goresan-goreasan suram. Namun, melalui lukisan dan kata-kata pendek yang penuh makna, Alea berusaha untuk bangkit. Setiap garis dan warna di kanvasnya menyimpan cerita, bukan hanya tentang luka dan kehilangan, tetapi juga tentang keberanian dan kekuatan untuk terus hidup meski dunia seakan menjauh darinya. Di tengah perjalanan ini, hadirnya 3 teman lama yang kembali muncul, memberikan sedikit harapan. Namun, hubungan mereka pun diuji, terutama ketika Tasya, sahabat yang sudah lama ia anggap teman dekat, ternyata menyimpan perasaan kepada salah satu temannya yang lebih dari sekedar teman , menciptakan kesalahpahaman yang semakin memperburuk hubungan mereka. Di sisi lain, ada Nayaka, teman yang selalu ada di belakang Alea, meski kadang ia merasa tak pernah dihargai sepenuhnya. Nayaka adalah orang baru yang mencoba untuk memahami Alea, meski sering kali ia harus menyembunyikan perasaan dan menjaga jarak.dan juga, keberadaan Nayaka menjadi kunci dalam perjalanan Alea menuju pemulihan, bahkan saat dunia terasa mengisolasi dan menjauhkan mereka. Di setiap langkah, Alea harus menghadapi ketidakadilan, pengkhianatan, dan penyakit yang tak terelakkan. Namun, dengan setiap goresan di kanvasnya, ia mulai menemukan makna sejati dari kebangkitan, pemulihan, dan keberanian untuk menghadapi hidup yang penuh ketidakpastian.
Petikan Lingga by alergi_alergy
12 parts Complete
Suara petikan gitar mengisi ruangan kecil itu, menggema lembut di antara dinding-dinding kosong. Lingga duduk bersila di lantai, memeluk gitar akustiknya seperti seorang sahabat lama yang selalu setia mendengar. Tangannya bergerak perlahan, memainkan melodi yang sederhana namun penuh makna. Mata Lingga terpejam, seakan mencari ketenangan di antara setiap nada yang ia mainkan. Hari itu, matahari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela. Langit berwarna jingga keemasan, tanda bahwa senja sudah mulai memeluk hari. Lingga tahu bahwa waktu terus berjalan, namun ia merasa seolah detik-detik itu melambat saat ia tenggelam dalam musiknya. Di sudut ruangan, terletak sebuah foto kecil yang berdiri di atas meja kayu. Foto itu adalah potret dirinya bersama Nalendra-tertawa bersama di sebuah taman dengan cahaya matahari menerpa wajah mereka. Lingga melirik foto itu sejenak, senyumnya muncul tapi dengan berat, seakan ada sesuatu yang tertahan. Petikannya terhenti. Lingga menarik napas dalam-dalam, lalu menundukkan kepala, memandangi gitar di pangkuannya. "Len... gue nggak tahu kenapa gue selalu mainin lagu ini setiap kali gue mikirin lo," gumamnya lirih. Ia mengusap wajahnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Hening. Hanya ada suara angin yang meniup lembut tirai jendela. Lingga kembali menyandarkan punggungnya ke dinding, mencoba mengingat saat-saat ia dan Nalendra duduk bersama di tempat ini. Gitar yang kini di tangannya pernah dimainkan oleh Nalendra, bahkan melodi yang ia mainkan barusan adalah lagu yang sering mereka nyanyikan bersama. "Mungkin lo bener, Len," bisiknya pelan. "Hidup ini nggak selalu soal yang sempurna, tapi soal belajar menerima." Lingga tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat.
Eyes That Never Looked Back I LingOrm [Bahasa Indonesia] by shazzy1612
48 parts Complete Mature
DISCLAIMER Cerita ini sepenuhnya fiksi. Tidak ada hubungannya dengan kejadian, individu, atau entitas di dunia nyata, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Kesamaan apa pun hanyalah kebetulan belaka dan tidak disengaja. Ling Ling Kwong & Orm Kornnaphat, tentu saja, adalah gadis-gadis yang luar biasa dan tidak seperti karakter yang digambarkan dalam fanfiksi ini. Ingat, ini hanyalah fanfiksi! Selamat membaca! **Semua foto dikreditkan kepada pemiliknya masing-masing. Prolog Pertama kali Ling bertemu Orm, usianya enam tahun. Ia bersembunyi di balik kaki ibunya di sebuah kafe yang ramai, penuh dengan aroma kopi segar yang menyelimuti udara. Itu adalah tempat favorit orang tuanya, meski Ling sendiri jarang memperhatikannya-hingga hari itu tiba. Orm, seorang gadis kecil dengan celemek yang kebesaran, berdiri di belakang meja kasir dengan bertumpu pada ujung jari kakinya, menyusun paket gula dengan penuh konsentrasi. Ia mendongak, menatap mata Ling, lalu tersenyum lebar. "Mau bantu?" tanya Orm, sambil menyodorkan satu paket gula. Ling ragu. Ia belum pernah diajak melakukan hal yang begitu biasa sebelumnya. Tapi nada hangat dalam suara Orm terasa berbeda dari sapaan sopan yang biasa ia dengar. Sejak saat itu, Ling dan Orm tak terpisahkan. Perbedaan di antara mereka tak pernah menjadi masalah. Ling dengan gaun desainer dan mobil antar-jemputnya, sementara Orm dengan pakaian sederhana, selalu beraroma kopi dan roti panggang hangat. Mereka membangun dunia mereka sendiri di dalam kafe kecil itu, berbagi rahasia, impian, dan tawa. Tapi ada hal-hal yang tak pernah terucap. Orm tak pernah memberitahu bahwa jantungnya selalu berdegup kencang setiap kali Ling tersenyum padanya. Dan Ling? Ia tidak menyadari apa pun. Ia percaya bahwa takkan ada yang berubah di antara mereka. Hingga hari saat ia jatuh cinta pada orang lain.
You may also like
Slide 1 of 10
Ikhlas Yang Tak Mudah cover
Kopi & Deadline (On Going) cover
cerita diatas kanvas cover
Petikan Lingga cover
Eyes That Never Looked Back I LingOrm [Bahasa Indonesia] cover
Tentang Lionel : Cerita dari Catherina cover
STRANGERS, PULPEN, AND A CUP OF COFFEE | HEESEUNG & KARINA cover
PERJODOHAN (Matchmaking) [END] cover
ALEYA~~ cover
Dr. Kwong | Lingorm cover

Ikhlas Yang Tak Mudah

10 parts Complete Mature

Seorang gadis cantik nan manis, berkulit sawo matang itu kini tengah duduk berteduh di sebuah cafe dengan menikmati secangkir kopi susu dan suasana hujan yang lebat. Pandangan nya tertuju pada seorang wanita yang tengah bersenda gurau dengan pasangan nya. Ia tersenyum tipis dengan cairan yang keluar dari pelupuk matanya. Air mata yang terus menerus keluar menuruni pipinya. "Kaka sayang kamu, Kaka janji akan selalu jaga kamu dan selalu ada buat kamu". Ucapan itu yang terus menerus selalu terlintas di benak nya. "Kak, kenapa Kaka tinggalin aku? aku belum bisa untuk melakukan segala hal sendiri. aku masih butuh Kaka, aku masih butuh pundak Kaka untuk bersandar". Terlihat ia memejamkan matanya seraya bergumam dengan nada yang sangat lirih. "I miss you ka"