"Namaku Abi," katanya tanpa mengalihkan perhatian dari tangkai-tangkai bunga yang sedang ia rangkai. Suaranya lembut dan penuh perhatian.
Manna tertegun sejenak.
"Kalau namamu?" Abi menoleh, matanya berkilau dalam cahaya senja.
"Namaku... Manya," jawabnya pelan, hampir tenggelam dalam desiran angin sore.
Abi tersenyum, tapi Manna buru-buru mengoreksi, "Bukan! Namaku Manna! Famanna!"
Alih-alih heran, Abi hanya tersenyum kecil. "Manna," ucapnya pelan, seolah mengulang mantra yang baru ditemukan. "Nama yang cantik."
Manna dan Abi hanya dua anak kecil yang dipertemukan oleh kebetulan, terikat dalam tujuh hari yang singkat, namun membekas lebih lama dari yang seharusnya. Mereka tidak berjanji untuk bertemu lagi, tidak pula berusaha mencari-waktu berjalan, dan musim panas itu perlahan menjauh.
Lalu, bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali.
Seharusnya, ini adalah kisah tentang dua orang yang akhirnya menemukan satu sama lain. Tapi nyatanya, mereka hanya saling diam. Seakan tak ada masa lalu yang menghubungkan. Seakan pertemuan itu tak pernah terjadi.
Bukan karena mereka lupa, tetapi karena mereka takut mengingat.
Ada sesuatu yang terjadi setelah tujuh hari itu. Sesuatu yang membuat mereka tidak berani menyinggung masa kecil yang seharusnya menjadi kenangan indah. Sesuatu yang membuat mereka, dalam diam, bertanya-tanya-apakah kenangan itu benar-benar nyata, atau hanya ilusi yang mereka ciptakan sendiri?
Karena meski tak diingat, bukan berarti terlupakan.
Setelah satu tahun bertahan di pernikahan itu, Sabrina pada akhirnya memilih kabur ketika kebenaran tentang suaminya terungkap.
Sabrina ingin memulai kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupannya yang sebelumnya. Gadis itu yakin bahwa suaminya, Detra tidak akan mencarinya karena pria itu tidak pernah mencintainya.
Namun, siapa sangka hari itu mereka bertemu lagi.
"Bukankah kamu pantas untuk diikat selamanya di ranjang kita karena berusaha kabur dari suami kamu, Sabrina?" Detra datang dengan penampilan yang jauh berbeda dari ingatan terakhirnya.
***