Cinta di Tengah Reformasi

Prolog

Jakarta, 1997.

Kota ini tak lagi sama. Jalan-jalan yang dulu sibuk oleh kendaraan kini dikuasai oleh ribuan mahasiswa yang turun ke jalan, meneriakkan satu kata yang menggema di seluruh negeri: *Reformasi!*. Poster dan spanduk berkibar di udara, sementara ban-ban terbakar di perempatan jalan, menebarkan asap hitam yang menyelimuti langit.

Di balik sorotan kamera media dan barisan aparat bersenjata, ada ketakutan yang mengendap di setiap sudut kota. Orang-orang mulai sanksi terhadap masa depan, tidak tahu apakah esok akan lebih baik atau justru lebih kelam.

Di tengah kekacauan itu, ada dua hati yang berada di sisi berbeda dari garis yang tak kasat mata. Rania, mahasiswi aktivis yang berdiri di barisan paling depan, berteriak lantang menuntut perubahan. Di sisi lain ada Adam, seorang polisi muda yang mulai meragukan sumpah yang ia ucapkan saat pertama kali mengenakan seragamnya.

Mereka pernah saling mencintai tanpa peduli pada dunia. Dulu, cinta mereka tumbuh dalam ruang-ruang diskusi kecil di kafe dekat kampus, dalam obrolan panjang tentang impian dan masa depan yang mereka bayangkan. Tapi kini, keadaan memaksa mereka berdiri berseberangan.

Malam ini, Jakarta bergetar. Bentrokan pecah. Teriakan dan tembakan membaur di udara. Dan di antara dua sisi yang bertikai, takdir mempertemukan mereka kembali.

Apakah cinta mampu bertahan di tengah bara revolusi? Atau akankah mereka menjadi korban dari sejarah yang sedang ditulis dengan darah dan air mata?