Surat Terakhir Untuk Chika
"Surat Terakhir untuk Chika"
Zean Noviansyah adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi yang hidupnya sederhana. Ia bukan anak orang kaya, tapi juga bukan dari keluarga miskin. Setiap pagi, ia berangkat ke kampus menunggangi motor Honda Genio kesayangannya motor yang sudah menemaninya sejak awal kuliah, menjadi saksi bisu dari setiap perjalanan, tawa, dan cinta yang ia alami.
Di kampus, ada satu alasan yang membuat Zean selalu bersemangat: Yessica Mirah Qibthi, atau Chika, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi yang ceria, cerdas, dan disukai banyak orang. Mereka bertemu secara sederhana, jatuh cinta tanpa banyak rencana, dan membangun hubungan yang hangat tanpa kemewahan.
Zean yang pendiam dan realistis, Chika yang penuh warna dan spontan  keduanya saling melengkapi. Hari-hari mereka diisi dengan hal-hal kecil: makan di kantin kampus, berkendara berdua dengan Genio-nya di sore hari, atau sekadar berbagi cerita tentang masa depan.
Namun perlahan, segalanya berubah. Chika mulai menjauh. Pesannya jarang dibalas, tatapannya tak lagi sama. Di balik alasan "tugas kuliah" dan "organisasi," muncul nama lain: Aran seorang pria yang lebih dewasa, lebih mapan, dan pandai membuat Chika merasa istimewa.
Zean tahu. Ia tahu sejak lama. Tapi ia memilih diam, berpura-pura tidak tahu, karena mencintai Chika baginya bukan soal memiliki, tapi menjaga agar Chika tetap bahagia meski bukan bersamanya.
Saat cinta mereka mulai retak, Zean menyimpan rahasia lain yang jauh lebih besar: ia mengidap penyakit berat, dan dokter telah memberinya waktu yang tak lama lagi. Ia menanggung rasa sakitnya sendirian, tanpa pernah mengeluh. Hingga suatu malam, ketika tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan, Zean menulis sebuah surat terakhir untuk Chika.
Bukan surat kemarahan, bukan surat perpisahan penuh luka melainkan surat yang berisi permintaan maaf, kenangan, dan cinta yang tak sempat sembuh. Surat yang menjadi saksi ketulusan seorang pria sederhana yang mencintai tanpa syarat.