Cinta, kata yang manis di lidah namun getir di dada. Ia lahir dari kerinduan dan tumbuh dalam kegilaan, namun tak jarang menjelma racun yang perlahan menelanjangi nurani. Dalam dunia yang dikoyak oleh dusta dan dibungkus keindahan palsu, cinta bukan lagi mawar yang mekar di taman jiwa, melainkan bara yang menghanguskan akar-akar kesadaran.
"Cinta dan Kotornya" adalah elegi tentang dua jiwa yang remuk oleh luka, namun masih mengeja harapan di tengah reruntuhan batin. Arthur, manusia yang asing terhadap kehangatan dunia, dan Daniel, yang separuh jiwanya dikubur bersama kenangan keluarganya. Keduanya terikat dalam takdir kelam yang menjanjikan cahaya semu. Di antara desir angin yang menusuk dan bayang-bayang masa lalu yang tak mau pergi, mereka mencari makna dari cinta yang tak pernah mereka pahami.Atau mungkin, cinta itu sendiri adalah kebohongan paling halus yang diciptakan manusia untuk membalut dosa yang tak termaafkan.
Insan, berjalan di antara reruntuhan harapan yang diwariskan darah leluhur. Luka yang membiru dari generasi ke generasi, dendam yang mengalir dalam nadinya bagai sungai hitam yang tak pernah kering. Sejak kecil, cinta adalah bahasa asing yang tak pernah diajarkan. Ia mengerti rasa sakit seperti anak mengenal dekap ibunya, ia tumbuh bersama kehilangan, berpeluk mesra dengan kebohongan, berbisik dengan pengkhianatan yang menjadi lagu tidur malam-malamnya.
Ini adalah kisah tentang cinta yang tak bersih, yang tercipta dari peluh, darah, dan air mata. Tentang hati yang ingin dicintai, namun tak tahu cara mencinta. Tentang dunia yang menuntut kesucian dari jiwa-jiwa yang bahkan tak lagi tahu bagaimana rasanya suci.
Cinta dan Kotornya bukan sekadar cerita, ia adalah perjalanan sunyi ke lorong terdalam manusia, tempat kasih dan luka tak lagi bisa dibedakan.
Ini adalah kisah tentang kebaikan yang salah arah, cinta yang tumbuh dalam tanah beracun, dan harapan yang tertatih untuk tetap hidup di tengah kehancuran. Tak pernah ingin menjadi murka dunia.
Ia tak pernah meminta hidup yang sunyi.
Namun sejak kecil, ia diajari bahwa diam adalah satu-satunya cara untuk bertahan.
Seorang perempuan dinikahkan oleh ayahnya dengan anak angkat yang tak pernah merasa memiliki siapa pun. Pernikahan mereka bukan tentang cinta, melainkan tentang kewajiban, dendam, dan luka yang diwariskan tanpa permisi.
Laki-laki itu tak pernah mencintainya. Bahkan, tak pernah mencoba. Yang ia lihat hanyalah sosok yang mewakili masa lalu yang ingin ia lupakan, bayangan dari keluarga yang membuatnya merasa asing seumur hidup.
Malam-malam perempuan itu dipenuhi dingin. Bukan hanya dari tubuh yang menjauh, tapi dari kemarahan yang tak ia pahami. Namun dalam sunyi yang dipaksakan, ia tetap bertahan. Mencoba belajar mencintai dalam diam. Menanti entah untuk disembuhkan, atau perlahan dilenyapkan.
Kisah sunyi tentang hati yang tak pernah dipilih, dan luka yang terlalu dalam untuk disuarakan.