Altair adalah sebuah nama, namun juga sebuah topeng yang terbuat dari debu trauma masa kecil yang kelam. Di balik matanya yang selalu tampak waspada, bersembunyi jurang kenangan pahit yang tak pernah ia izinkan untuk mengering. Kenangan itu tidak hilang; ia meresap, menjadi tinta tak kasat mata yang menuliskan takdirnya.
Sejak saat itu, kejujuran menjadi barang mewah yang tak pernah mampu ia beli. Kebohongan adalah mata uang Altair, sebuah mekanisme pertahanan yang sempurna. Di rumah, ia adalah Altair si anak pendiam, sebuah kehadiran sunyi, tak terlihat, nyaris hampa. Ia menyerap setiap ketegangan dan menyimpannya rapat-rapat, mengubah dirinya menjadi bayangan agar tidak lagi terluka.
Namun, di luar dinding rumah, Altair yang berbeda lahir.
Di dunia luar, ia adalah individu yang kompleks dan kontradiktif. Di satu sisi, ia adalah sosok pendendam yang cermat merancang pembalasan. Tindakannya bisa menjadi kasar dan menusuk, didorong oleh amarah masa lalu yang terakumulasi. Namun, ironisnya, segala kekasaran dan topeng pemberani itu berdiri di atas fondasi yang rapuh: rasa takut yang mendalam. Ia adalah pemangsa yang paling takut untuk diburu.
[CHAPTER MASIH LENGKAP, EXTRA CHAPTER TERSEDIA DI KARYAKARSA]
Sembari menunggu jadwal wisuda, Sabrina memutuskan menerima tawaran bekerja sementara di Event Planner startup milik seniornya di kampus.
Tentu saja, dia nggak berharap banyak.
Berurusan tiap hari dengan Bang Zane yang menyebalkan itu, siapa juga yang betah?
Sayangnya ... pandemi berkata lain.
Jika rencananya paling lama hanya bekerja selama tiga bulan, sekarang dia bukan saja harus mengulur-ulur durasi menjadi bawahan sang bos kampret, tapi juga jadi salah satu teman karantinanya ... entah sampai kapan.
PS. For better experience, baca WRONGFUL ENCOUNTER dulu