4 parts Ongoing Ia yang dijuluki Bintang, Skayara Bintang Adhiyaksa.
Ia bukan langit yang dipuja, tapi serpih cahaya kecil yang berusaha tetap menyala di tengah gelap. Seorang penghuni pagi yang berjalan dalam sunyi, membelah dingin dengan sepeda motor renta yang kini lebih sering batuk daripada berjalan. Hidupnya adalah barisan luka yang diolesi senyum retak tapi tetap indah.
Setiap hari ia menjamu waktu dengan aroma kopi dan kepulan harapan hidup. Tangannya menari di antara cangkir dan kerinduan yang diam-diam ia telan dalam hirupan pertama. Ia menyapa dunia dengan tutur lembut, walau isi hatinya dipenuhi tanda tanya: "Sampai kapan aku harus kuat?"
Tak banyak yang melihat kehidupannya, tapi ia adalah puisi berjalan disusun dari kepingan lelah, dipoles oleh harap. Ia tak bersinar terang, tapi cukup gemerlap untuk diingat oleh langit yang pernah kehilangan bintangnya.
Ia yang dinamai Bulan, Raespati Bulan Sadipta.
Lelaki itu adalah senyap yang bersuara. Diamnya bukan karena tak peduli, tapi karena ia menyimpan terlalu banyak sakit yang tak sanggup diucapkan kata-kata. Ia tinggal di antara deru mesin dan debu jalanan, di mana suara knalpot adalah musik, dan peluh
Tangannya kasar seperti jalanan rusak, tapi setiap gerakannya adalah sajak membenahi yang rusak, menyambung yang patah, menghidupkan yang mati. Bengkelnya kecil, nyaris tersembunyi oleh waktu, tapi hatinya luas, menyimpan matahari yang enggan terbit.
Ia tak mencari dunia. Ia hanya ingin bertahan. Hidupnya adalah malam panjang yang ditemani bulan sabit: separuh terang, separuh gelap, namun tetap bertahan menggantung di langit. Dan dalam diamnya, ia berharap seseorang akan datang bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk duduk bersamanya dalam sunyi.