Aluna jatuh cinta pada Theo sejak hari pertama melihatnya di lorong sekolah sosok kakak kelas yang tengil tapi tenang , karismatik, dan selalu tampak jauh, seperti bintang yang hanya bisa dipandang dari kejauhan. Ia menyimpan perasaannya rapat-rapat, tak pernah berani mengucap, hanya berharap diam-diam Theo akan melihatnya... dan merasakannya.
Tiga tahun berlalu, dan Aluna tetap di tempat yang sama menunggu. Menunggu Theo yang perlahan tampak tak tersentuh. Theo adalah seseorang yang tidak mudah jatuh hati, hatinya seolah tertutup, beku oleh masa lalu yang tak pernah ia lupakan. Dan Aluna, dengan segala cintanya, tetap setia. Tidak untuk memaksa, hanya untuk percaya.
Hingga suatu hari, sesuatu berubah. Bukan di hati Theo untuk Aluna, tapi pada seseorang lain yang datang membawa hangat, mencairkan dingin yang lama membungkus Theo. Untuk pertama kalinya, Aluna melihat cinta tumbuh di mata Theo namun bukan untuknya.
Di antara getir dan keikhlasan, Aluna belajar: bahwa menunggu tak selalu berujung pada pelukan, dan cinta yang tulus tak selalu ditakdirkan untuk bersatu. Tapi dari patah itu, ia mulai merangkai dirinya kembali lebih utuh dari sebelumnya
Alea adalah murid baru di sekolah-ceria, penuh semangat, dan mudah bergaul. Di hari-hari awalnya, dia tanpa sengaja bertemu Farel, cowok satu sekolah yang terkenal dingin dan cuek. Bukannya takut atau mundur, Alea justru makin penasaran dan tertarik. Ada sesuatu dalam diri Farel yang bikin Alea pengen terus deket.
Meski sering dicuekin, Alea nggak nyerah. Dia tetap hadir, tetap peduli, dan perlahan jadi satu-satunya orang yang bisa bikin Farel ngerasa hangat lagi. Farel awalnya nggak peka, bahkan sengaja jaga jarak. Tapi seiring waktu, perhatian dan ketulusan Alea mulai mengetuk hati Farel yang selama ini tertutup.
Tanpa sadar, rasa itu tumbuh. Dari yang awalnya cuma Alea yang berjuang, sekarang Farel mulai takut kehilangan. Dan dari situ, kisah mereka pun dimulai-tentang cinta yang tumbuh dari keberanian, kesabaran, dan ketulusan.