68 parts Ongoing Qil... maaf, gue nggak sadar sama apa yang barusan kita lakuin," ucap Mohan, suaranya lirih, penuh penyesalan.
Namun penyesalan itu tak mampu membendung luka di dada Aqila. Ia menatap Mohan dengan mata yang basah dan penuh kekecewaan. Suaranya pecah, histeris, "Diem lo! Gue salah apa, Mohan? Kenapa lo jahat banget sama gue? Gue benci lo, Mohan! Akhhhhh!!"
Jeritannya menggema, memecah malam yang sepi. Mohan panik. Ia mendekat, mencoba menenangkan dengan memeluk tubuh Aqila yang bergetar. Tapi Aqila memberontak, menolak sentuhan itu seolah menyentuhnya adalah membuka kembali luka yang belum sembuh.
"Lepasin! Lepasin gue! Jangan lakuin itu lagi... Sakit... Sakit!" isaknya keras.
Mohan terdiam sesaat, menelan semua rasa bersalah yang menyesakkan. Ia mengendurkan pelukannya, menatap wajah Aqila yang basah oleh air mata. Dengan lembut, ia genggam wajah Aqila, memaksanya menatap ke arahnya.
"Oke, gue lepasin. Tapi plis, Qil... Tenang dulu, oke?"
Aqila hanya terisak. Tidak menjawab. Tidak memukul. Tidak menolak. Tapi juga tidak menerima. Malam itu menjadi saksi, bahwa kadang maaf tidak cukup. Ada luka yang butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk sembuh.