Shanghai, tahun 1921. Di tengah gejolak politik dan kebangkitan nasionalisme, seorang lelaki pendiam bernama Juanda, penulis puisi dan pemilik toko buku kecil, hidup dalam dunia yang ia ciptakan sendiri sunyi, rapi, dan tanpa suara. Hingga pada suatu senja, beliau bertemu dengan Derwana, pria aristokrat berpakaian serba putih, yang berdiri di depan danau dengan mata seolah menyimpan seluruh kepedihan dunia.
Pertemuan itu menjadi awal dari perjalanan batin yang sunyi tapi dalam. Derwana bukan hanya menyembunyikan nama aslinya, tapi juga identitas dan rahasia besar yang bisa mengguncang stabilitas keluarga penguasa. Sementara Juanda yang awalnya hanya ingin mengabadikan Derwana dalam bait puisi justru terjebak dalam rasa yang tak ia kenal rindu yang tak bisa dimiliki.
"Aku tidak tahu apakah kamu datang sebagai takdir atau hukuman, tapi sejak kita bertemu... aku tak pernah berdoa agar pertemuan ini berakhir."
Di antara helaian senja yang merona, terdapat sepotong kisah yang lahir di tepian danau sunyi. Di sanalah, di mana langit membisikkan rahasia keemasan dan angin menari di antara dedaunan, dua jiwa bertemu dalam bisikan takdir.
Juanda, pemuda yang mencari jawaban lewat riak air dan doa yang tulus, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan biasa. Di setiap langkahnya, beliau mendengar alunan lembut, seolah seruan dari langit yang mengajaknya menggapai makna cinta sejati. Setiap hari, beliau datang ke danau tempat di mana hati tersingkap dan rahasia alam terungkap tanpa menyangka bahwa suatu hari, di balik kebisuan senja, ia akan menemukan seorang yang kelak mengubah seluruh isi semestanya.
Dalam sekejap mata, kehidupan Senja berubah total. Seorang pemuda yang tumbuh dalam kehangatan keluarga sederhana, Senja menikmati hari-harinya diiringi oleh puisi-puisi ayahnya yang penuh kebijaksanaan. Namun, ketika sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa kedua orang tua dan adiknya, Senja harus menatap kenyataan pahit: ia yang tersisa, terperangkap dalam kesedihan dan kekosongan yang mendalam.
Terjerumus dalam trauma dan duka, Senja merasa kehilangan arah dan tujuan hidup. Namun, di tengah gelapnya penderitaan, ia mendengar bisikan tentang Bandung-kota yang dipercaya sebagai "diciptakan Tuhan saat Tuhan tersenyum." Dengan sisa keberanian yang tersisa, ia memutuskan meninggalkan masa lalunya dan memulai perjalanan menuju Bandung, berharap menemukan secercah harapan dan penyembuhan bagi jiwanya.
Di Bandung, Senja menemukan dunia yang berbeda, di mana sejarah dan seni berpadu dalam setiap sudut kota. Di tengah perjalanan itu, ia bertemu Arlana, seorang seniman jalanan dengan jiwa kritis yang mengerti bahasa keindahan dalam setiap goresan lukis dan nada gitar. Melalui pertemuan mereka, Senja mulai menulis kembali puisi-kata-kata yang dahulu menjadi warisan ayahnya. Setiap bait yang ia tulis adalah pengakuan atas luka yang dalam, sekaligus seruan untuk menemukan kembali arti hidup di balik kesedihan.
"Senja di Bandung" adalah sebuah kisah yang mengangkat keindahan puisi sebagai penyembuh jiwa. Di antara deretan puisi yang mengalir, Senja dan Arlana menemukan bahwa setiap luka memiliki sajaknya sendiri, dan bahwa keindahan sering kali lahir dari penderitaan terdalam. Novel ini mengajak pembaca untuk merenungi bahwa meski hidup kerap dipenuhi kehilangan, dari kepedihan itu akan tumbuh harapan baru-sebuah perjalanan batin yang menuntun pada penerimaan diri dan keajaiban dari setiap kata yang terukir di dalam hati.