Benang Merah adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar selesai-tentang waktu yang berjalan, tetapi perasaan yang tetap bertahan.
Aku kembali ke Bandung bukan karena keinginanku sendiri, melainkan karena keadaan yang memaksaku. Kata orang, kota ini lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, tapi bagiku, keindahan yang mereka puji tak mampu menghapus jejak luka yang masih melekat hingga kini.
Sudah tiga tahun berlalu, tetapi setiap kali mendengar namanya, perih itu kembali menyeruak, seolah tak pernah benar-benar pergi. Ada kenangan yang terus berputar, ada kesedihan yang enggan mereda. Aku pikir aku telah melangkah maju, mencoba menjalin kisah dengan orang lain, menemukan jalan yang baru. Tetapi malam itu, di antara dinginnya udara Lembang dan gemerlap lampu yang memantul di permukaan danau, aku melihatnya.
Dia berdiri di sana-hanya beberapa langkah dari tempatku berada. Dan dalam sekejap, semua yang kupikir telah selesai kembali mencuat, menghadirkan pertanyaan yang selama ini kuhindari. Apakah waktu benar-benar mampu menyembuhkan? Atau benang merah itu masih ada, tak terputus meski tahun-tahun berlalu?
Percakapan kami dipenuhi keheningan yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Aku ingin percaya bahwa aku sudah baik-baik saja, bahwa semua ini hanyalah pertemuan biasa-tetapi nyatanya, hati tidak bisa berdusta. Di antara perasaan yang belum sepenuhnya padam dan kenyataan yang harus kuterima, aku dihadapkan pada pilihan yang tak mudah: mengikhlaskan sepenuhnya, atau mengakui bahwa aku belum benar-benar pergi.
Benang Merah adalah cerita tentang kehilangan, keberanian, dan kejujuran. Tentang dua hati yang mencoba menemukan jawabannya, di sebuah malam yang menyimpan lebih banyak kenangan daripada yang ingin diakui.
Kita semu,
dan aku mungkin hanya cerita tidak menyenangkan lainnya dari cinta pertamamu yang kelabu.
Kita tiada,
seperti suara riuh dari hujan yang sia-sia.
--
[Beberapa part sengaja di-unpublish sementara karena proses revisi]
Setelah kemarin, aku memutuskan menuliskanmu dalam cerita, sebagai bentuk penerimaan terbesarku usai kehilangan. Sebelum sampai Bandung pun, aku tahu aku hanya bersembunyi dibalik kata 'setelah' dan kita yang selesai. Sementara kamu tidak pernah hilang. Meski aku sudah tahu, rasanya kau seperti waktu, sementara aku hanya pergantian dari hujanmu yang usai--pun kemaraumu yang selesai.
Aku masih bersikeras melupakan, El, mengisi hujan yang terlalu riuh dan pergantian musim yang terlalu lengang. Bandung sudah mengirimkan banyak orang-orang baru, memberitahu jika tanpa hadirmu pun, aku bisa melalui semuanya. Namun tetap saja, hatiku batu. Seluruh penuh dan kosong hanya meyakinkanku soal kamu.
Sementara bagimu, aku tidak pernah punya ruang, bukan?
Aku hanya kosong yang senang ketika kauminta menggenapkanmu paksa, memulihkanmu dari bekas luka dan cerita lama.
Sudah hampir setengah dasawarsa, dan aku memutuskan menuliskanmu dalam cerita, menulis seluruh riuh hujan yang gembira dan cerita tentang perempuan kaku yang pandai berpura-pura.
Terima kasih, El. Kau tetap manusia meneduhkan dan sungguh berharga bahkan setelah Bandung berhasil mengubah sebagian besar dari bagaimana aku melihat dunia.
[COMPLETED]