Story cover for Badai Teduh by Kensgeodanuarta
Badai Teduh
  • WpView
    Reads 204
  • WpVote
    Votes 35
  • WpPart
    Parts 9
  • WpView
    Reads 204
  • WpVote
    Votes 35
  • WpPart
    Parts 9
Ongoing, First published Jun 11
Aku nggak tahu siapa dia. Datang-datang ke kios, manggil namaku seolah kami teman lama, terus pergi begitu saja kayak angin. Kupluknya kusam, bajunya kusut, dan... entah kenapa aku tetap ingat matanya. Satu lebih kecil dari yang lain. Nyebelin.

Dia muncul di saat yang nggak masuk akal-waktu aku kesulitan bawa sayur, waktu aku kelelahan, waktu aku nyaris takut. Dan setiap kali aku tanya, dia cuma jawab dengan senyum sok akrab dan kalimat-kalimat yang bikin aku makin bingung.

Sialnya, dia tahu hal-hal yang bahkan temanku sendiri nggak tahu. Tentang ayahku. Tentang masa kecilku. Tentang hal-hal yang bahkan aku lupa. Tapi setiap kali aku hampir dapat jawabannya, aku malah... bangun. Kayak baru mimpi. Tapi buktinya selalu nyata.

Lalu ibu cerita sesuatu yang lebih gila lagi: aku punya saudara kembar. Meninggal waktu kecil. Dan dari situ, semuanya mulai terasa makin kacau.

Dia datang kayak badai-tiba-tiba, gangguin hidupku, dan pergi sebelum aku sempat marah lebih jauh. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang pelan-pelan aku sadari. Mungkin dia datang bukan cuma untuk bikin aku kesal... tapi untuk mengingatkan aku tentang sesuatu yang pernah hilang. Termasuk diriku sendiri.
All Rights Reserved
Sign up to add Badai Teduh to your library and receive updates
or
#254duadunia
Content Guidelines
You may also like
You may also like
Slide 1 of 9
Senja Yang Tak Kembali  cover
GABRIEL cover
SELEPAS KAU PERGI cover
Glitch cover
Kelas A [End] cover
No Longer Mate cover
Middlemost | ENHYPEN ✔ cover
Garis Orbit cover
GRIZLEN {On Going} cover

Senja Yang Tak Kembali

26 parts Ongoing

Senja selalu punya cara untuk mengingatkanku padanya. Pada warna jingga yang memudar perlahan, pada langit yang semakin gelap, dan pada perasaan yang tak pernah benar-benar pergi. Aku masih mengingatnya dengan jelas- hari pertama aku melihatnya, tawa kecilnya yang ringan, dan caranya berbicara seolah dunia ini adalah tempat yang penuh keajaiban. Aku juga masih ingat saat aku akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, hanya untuk mendengar jawaban yang sudah kutakutkan sejak awal. "Aku nggak bisa, Rak... Maaf." Kalimat itü terus terulang di kepalaku, seperti kaset rusak yang tak bisa kuhentikan. Tapi anehnya, aku tetap di sini. Aku tetap bertahan. Mungkin ini bodoh. Mungkin aku hanya menggenggam sesuatu yang seharusnya kulepaskan sejak lama. Tapi, bagaimana caranya melepaskan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari diri sendiri? Senja yang pernah menyatukan kami kini menjadi saksi bahwa beberapa hal memang tidak bisa kembali seperti dulu. Namun, meski tak bisa kumiliki, aku masih menyimpan perasaan ini. Bukan untuk berharap, bukan untuk menunggu, tetapi sekadar untuk mengenang bahwa aku pernah mencintai seseorang dengan seluruh hatiku. Dan itu sudah cukup.