DUNIA HENING ZEA

(Kumpulan Cerpen)

Setiap orang punya lorongnya sendiri. Ada yang panjang, sempit, berliku, dengan cahaya redup di ujungnya yang entah benar-benar ada atau hanya ilusi. Di lorong itu, siapa pun menyimpan rahasia yang tak pernah dibicarakan, tentang luka, tentang hidup dan pertaruhan, serta tentang cinta yang tertinggal di persimpangan waktu.

Seperti kisah yang membalut Zea, Amara, Andrian, Amalia, dan Senja. Mereka berjalan dalam lorong takdir yang Tuhan gariskan.

Zea, dalam diam ia memungut mimpi-mimpi yang diremehkan orang-orang yang seharusnya memeluknya.

Di tempat lain, Amara menahan napas pada surat-surat teror yang datang tanpa suara tapi penuh ancaman di Meja 13.

Berpindah dari sana, Andrian berdiri di rumah kolonial tua, menatap kanvas-kanvas bisu yang menelan nyawa dan dendam.

Panji, lelaki kere dengan utang di mana-mana, menemukan rumah pulang yang dipenuhi buku catatan dosa dan arwah yang menunggu kebaikan yang tak mudah ditebus.

Melompat ke Amalia yang menjalani kehidupannya dengan dua wajah, siang sebagai guru teladan, malam sebagai Arabelle, perempuan yang menolak terkekang. Namun, di balik pintu, rahasia tak pernah benar-benar bisa dikunci rapat.

Dalam tarikan napas yang penuh ketidakpastian seorang perempuan menanti. Senja percaya cintanya masih hidup di tubuh Akbar yang kabarnya mati. Di lorong waktu yang beku, dia menolak harapan orang lain, menolak lamaran, menolak menyerah, sampai cinta pulang tanpa membawa bahagia.

Enam kisah, enam kehidupan, enam jiwa yang mengajarkan satu hal: tak semua rahasia harus dibongkar, tak semua utang bisa dibayar, tak semua luka bisa sembuh. Namun, di setiap lorong sunyi selalu ada secercah cahaya yang menunggu mereka yang berani pulang, meski harus terseok, meski harus hilang berkali-kali.

Karena hidup, pada akhirnya hanyalah perjalanan di lorong sunyi. Kita berjalan sendirian. Kita pulang sendirian.

(Kumpulan Cerpen yang terangkum dalam event menulis NAD 2025)